Topik mengenai perempuan seakan tidak ada habisnya dan menarik untuk diperbincangkan. Terlebih mengenai perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan yaitu kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk berperan serta berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, sosial, budaya, Pendidikan dan pertahanan serta keamanan nasional (hamkamnas).
Sebelum abad ke-20 kondisi perempuan mengalami ketidakadilan gender, hal ini disebabkan oleh masyarakat yang feodal dan mengakarnya budaya patriarki. Melihat permasalahan ini terpantiklah beberapa tokoh perempuan indonesia seperti : Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan Raden Ajeng Kartini.
Siapa R.A Kartini?
Kartini merupakan tokoh perempuan yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional indonesia yang memperjuangkan emansipasi Wanita dalam mencapai kesetaraan antara hak laki-laki dan perempuan untuk mendapat kesempatan yang sama di berbagai bidang.
21 April 1878 di Kota Jepara lahir putri dari salah seorang Bangsawan Bernama Raden Mas (R.M.) sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah yang diberi nama Raden ajeng Kartini. Kartini merupakan salah satu anak pribumi Indonesia yang saat itu diizinkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1885. Sebab hanya anak dari orang tua dengan jabatan tertinggi pemerintahan yang diperbolehkan untuk mengakses Pendidikan. Namun, kartini tidak melanjutkan Pendidikan ke jenjang berikutnya karena dipaksa oleh ayahnya untuk mengikuti adat istiadat “Pingitan“ yang berlaku selayaknya sebagai putri bangsawan.
Kondisi Sosial dengan Budaya patriarki yang mengakar
Adat istiadat pingit yang dialami oleh kartini merupakan budaya jawa kala itu, dimana perempuan yang belum menikah diwajibkan untuk berdiam di rumah sebelum ada laki-laki yang meminangnya. Terpaksa kartini menghabiskan waktunya sebagai putri bangsawan di dalam rumah. Namun, kartini memanfaatkan privilege sebagai putri bangsawan dengan membaca surat kabar dan buku-buku belanda selama di pingit.
Dari situlah kartini mulai terpantik untuk menulis surat yang isinya mengenai kondisi-kondisi perempuan saat itu di Indonesia, kepada sahabatnya di belanda J.H Abendanon dan sahabat yang lainya di belanda. kartini melihat realitas sosial yang ada bahwa perempuan masih terbelenggu oleh adat istiadat yang berlaku dan mengakarnya budaya patriarki yang mana perempuan sangat sulit mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki di berbagai bidang termasuk dalam hal Pendidikan.
Kondisi sosial pada saat itu menunjukkan bahwa adanya ketidakadilan gender di masyarakat, hal ini dapat dilihat dari masih kuatnya stereotip terhadap perempuan dengan label 3M (Macak, Manak, Masak) yang menjadikan perempuan terkungkung aktivitasnya hanya sebatas Berdandan, Memasak dan Melahirkan yang merupakan domestifikasi perempuan tanpa dibarengi dengan peran dan partisipasi perempuan di ranah public.
Posisi perempuan pada saat itu belum dikatakan sejajar dengan laki-laki karena perempuan masih disubordinasikan dan termarginalisasikan, akses Pendidikan serta partisipasi dalam politik masih didominasi oleh laki-laki, bahkan kala itu masih maraknya poligami yang dilakukan oleh para lelaki, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya, budaya perjodohan ini masih mengakar di jawa.
Kartini menjadi salah satu korban perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya, ia diharuskan oleh ayahnya untuk menikah dengan seseorang yang berdarah bangsawan, maka dari situlah ayah kartini memaksanya untuk menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang yang secara umur berbeda cukup jauh dengan kartini, keputusan ini awalnya ditolak oleh kartini karena ia tidak mengenal calon suaminya dan kartini tidak diperbolehkan untuk memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya. Namun, lambat laun kartini terpaksa menerima perjodohan tersebut sebagai bentuk rasa berbakti kepada orang tuanya dengan catatan kartini tidak ingin melakukan prosesi adat pernikahan seperti berjalan jongkok, berlutut dan mencium kaki, hal ini sebagai bentuk keputusannya yang menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, kartini meminta agar tetap diperbolehkan untuk memajukan perempuan, dengan kelebihan yang ada ia ingin dibuatkan sekolah khusus perempuan dan meminta untuk ia mengajar sebagai guru di rembang. Beruntung K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat mengabulkan permintaan tersebut meskipun kartini merelakan dirinya dipoligami dan dijadikan istri ke-4. Padahal kartini merupakan sosok yang menentang keras praktek poligami karena ia sedari kecil merasakan bagaimana ibunya menjadi korban poligami. Kartini menganggap poligami merupakan bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan.
Dari berbagai cerita yang beredar, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat menikahi kartini atas permintaan mendiang istrinya sukarmila sebelum meninggal. Beliau mengagumi Kartini karena pemikiran-pemikirannya sehingga meminta suaminya untuk menikahi nya agar anak-anak mereka mendapat Pendidikan dan pengasuhan yang baik dari Kartini.
Namun sangat disayangkan, perjuangan kartini untuk mewujudkan emansipasi perempuan harus terhenti di usia 25 tahun. Ia wafat pada 17 September 1904 empat hari setelah melahirkan putra yang Bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Meski demikian, semangat dan perjuangannya dalam memajukan perempuan Indonesia masih terasa hingga kini.
Terbukti, sumbangsih pemikiran yang diberikan oleh kartini terhadap bangsa, presiden soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964. Dalam keputusan tersebut Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Selain itu, Soekarno juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Hal tersebut sesuai dengan tanggal lahir kartini 21 April 1879. Dan diperingati setiap tahunnya sebagai bentuk menghormati dan mengenang jasa Kartini. Dalam memperingati hari kartini tidak hanya sebatas dengan memakai kebaya saja, bahkan momentum tersebut terkadang diselipi dengan hal-hal yang sebetulnya kurang selaras dengan nilai-nilai perjuangan kartini seperti mengadakan kontes kecantikan, kemudian pemenangnya dijadikan putri kartini dan terkadang menjadi model. Oleh karena itu perlu mendekontruksi sejarah dan merefleksikan spirit perjuangan kartini dalam memajukan perempuan terutama dalam hal pendidikan.
Refleksi Spirit perjuangan Kartini
Spirit yang dapat direfleksikan dalam perjuangan kartini pertama, Spirit Literasi. Spirit Literasi yang dilakukan oleh kartini pada saat itu dengan menulis surat-surat yang berisikan tentang kondisi perempuan dan harapan-harapan kartini terhadap kemajuan perempuan, Kartini dengan akses yang ada memiliki kemauan untuk memperluas pandangan dengan membaca surat-surat kabar, majalah dan Buku-buku belanda. Kartini juga membuka kesempatan bagi perempuan untuk belajar dengan mendirikan sekolah dalam memajukan perempuan.
Kedua, Spirit Kesetaraan gender bahwa kartini memiliki cita-cita besar yakni mewujudkan emansipasi Wanita dengan memajukan perempuan melalui Pendidikan. Kartini memanfaatkan Privilege sebagai Putri Bangsawan dengan belajar dari Buku-buku dan surat kabar yang ada, dari situlah kartini terpantik untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan anak miskin karena kartini melihat Nasib perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan untuk mengalami ketidakadilan gender. Bahkan dalam mengusahakan kesetaraan gender kartini tidak berjuang sendiri akan tetapi laki-laki dan perempuan saling memperjuangkan, kartini yang kemudian dibantu oleh kakak dan saudaranya Kardinah, Roekmini beserta sahabat-sahabatnya di Belanda. Sehingga dalam hal ini perempuan dan laki-laki perlu saling bahu membahu untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Ketiga, Spirit Patron. Kartini merupakan sosok Role Model dalam memajukan perempuan yang mengalami mengalami ketidakadilan gender. Dengan keberanian yang ia memiliki kartini menentang adat istiadat yang merugikan perempuan.
Menjadi Kartini Masa Kini
Perempuan kartini yaitu perempuan yang memperjuangkan apa yang diperjuangkan kartini. Begitulah Ketika kita ingin menjadi kartini masa kini. Di era kemajuan teknologi dan informasi yang semakin berkembang pesat saat ini memberikan kemudahan berkomunikasi dan kecepatan arus informasi memudahkan perempuan dalam memperjuangkan hak, nilai dan kesempatan di dalam unsur kehidupan.
Di era modern saat ini, perempuan tidak lagi hanya memperjuangkan hak Pendidikan, tetapi aktif terjun dalam dunia politik, seni dan ilmu pengetahuan lainya. Perempuan kini memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk menentukan kendali atas Nasib mereka sendiri.
Dulu, kartini memperjuangkan Pendidikan perempuan di sama yang penuh dengan keterbatasan. Namun, saat ini perempuan dengan sejuta peluang untuk berkarya menjadi perempuan bernilai di tengah masyarakat dengan peran dan gambaran perempuan yang saat ini lebih dinamis.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat memberikan kesempatan untuk mengakses berbagai informasi dari beragam sumber. Adanya ragam sosial media saat ini pun dapat dimanfaatkan dengan bijak seperti perempuan dapat menyuarakan gagasan, berbagi cerita, mengangkat isu-isu perempuan, mengedukasi secara kreatif, mencari sumber informasi, serta menyebarluaskan pemahaman-pemahaman maupun tulisan. Oleh karenanya perlu berimprovisasi di era digital. Sebab, era digital membuka akses bagi siapapun untuk mengikuti perkembangan yang sedang terjadi, termasuk bagi kaum perempuan.
Dengan menjadi kartini masa kini maka semangat kartini akan terus hidup dalam perempuan yang memiliki kemauan untuk berjuang mewujudkan kesetaraan.
Oleh : Dewi Fera Wati (Ketua Umum Renaissance FISIP UMM periode 2023/2024)