preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

UU Cipta Kerja : Prestasi bagi Oligarki

Periode kedua masa jabatan Jokowi ini kembali menorehkan prestasi yang tidak biasa, sebelumnya menerbitkan Undang-Undang hukum pidana (KUHP), Undang-Undang Minerba (UU No. 3 Tahun 2020). Berlanjut baru akhir-akhir ini pada 31 Maret kemarin, DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2023 atau dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta kerja ini digayang sebagai sebuah alternatif dalam menjawab kepastian hukum dalam sektor ketenagakerjaan.

Undang-Undang ini memiliki keunikan yaitu menggunakan metode Omnibus dalam proses pembuatannya, termuat 11 Klaster meliputi Ketenagakerjaan, Dukungan bagi UMKM, Peningkatan ekosistem investasi, Perizinan berusaha, Pengadaan Tanah, Kawasan ekonomi, investasi pemerintahan pusat dan percepatan PSN, Riset dan inovasi, pengenaan sanksi, Administrasi pemerintah, dan Proyek strategis nasional. 

Metode Omnibus Law

Omnibus Law secara harfiah berasal dari kata “Bus” yang berarti dapat mengangkut banyak orang atau barang dan “Omnis” dari bahasa latin yang berarti semuanya atau banyak, Dalam konteks hukum memiliki arti Undang-Undang yang menggabungkan berbagai topik menjadi satu. Umumnya metode lumrah diterapkan pada negara yang menerapkan Common Law dimana hakim memiliki keterikatan dengan hirarki pengadilan yang lebih tinggi, sehingga pengadilan yang mempunyai level dibawah harus mengikuti hirarki diatas nya. Berbeda dengan indonesia yang menganut Civil Law.

Pada konteks sistem Common Law di indonesia jika dikaitkan dengan metode ini bisa dilihat dari dua sumber hukum yaitu Yurisprudensi dan kebiasaan. Yurisprudensi yang dimaksud ialah hakim memberikan keputusan berdasarkan pertimbangannya dalam memutuskan suatu perkara yang belum diatur dalam Undang-Undang. Kebiasaan yang dimaksud ialah sebuah kultur yang melekat dan diakui masyarakat. Hal ini menjadikan Omnibus Law tidak cocok dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Menjadi inkonstitusional bersyarat

Proses pembentukan Undang-Undang cipta kerja ini mengalami dinamika panjang sejak awal periode dua Jokowi. Awalnya rancangan ini telah menjadi wacana untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang kuat secara ekonomi dan sebagai alternatif dalam menjaga stabilitas negara. Indonesia juga dilanda pandemi COVID-19 yang memiliki dampak yang besar dalam segala bidang terkhusus ekonomi. Pada 2 April 2020, RUU Ciptaker ini baru mulai dibahas oleh DPR pada rapat paripurna ke-13. Setelah melewati jangka waktu 6 bulan, akhirnya RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang pada 5 oktober 2020 saat sidang paripurna DPR.  

Tak lama setelah disahkan, pada November 2021 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan surat keputusan bahwa UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan Inkonstitusional bersyarat. Keputusan ini didasari oleh banyak masukan dan gugatan dari masyarakat yang dibawa untuk dilakukan pengujian formil (Judicial Review) oleh MK. Poin yang menjadi pertimbangan putusan MK ialah metode omnibus law dalam perumusannya dinilai tidak sesuai dengan materi pembuatan Undang-Undang yang berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 atau UU P3 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dicantumkan penggabungan banyak klaster undang-undang menjadi satu. Terlihat secara jelas bahwa sebenarnya proses pembentukan Undang-Undang tidak didasarkan pada materi yang baku, pasti, dan standar.

Selain itu, Undang-Undang ini dinilai tidak memenuhi asas-asas dalam pembentukan peraturan peraturan Perundang-undangan. Asas yang tidak terpenuhi adalah asas keterbukaan, MK menilai bahwa tidak adanya asas keterbukaan pada pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja yakni yang termaksud dalam UU P3 Pasal 96 ayat 4 yang mensyaratkan agar pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat dengan memberikan informasi dan mewadahi masukan masyarakat.

Skenario dijadikannya Perpu Cipta kerja

         Pada hirarki Undang-Undang yang termuat dalam UU P3 Pasal 7 ayat (1), bahwa Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) memiliki kedudukan yang sama dengan Undang-Undang. Perbedaannya ialah pada ihwal dalam perumusannya, Perppu hanya dapat dikeluarkan oleh Presiden dan memiliki ihwal kegentingan yang mendesak. Pasca dinyatakan inkonstitusional bersyarat, pada masa akhir sidang ke 3 Perppu yang diserahkan oleh jokowi pada DPR tidak kunjung ada pembahasan terkait pengesahan Perppu Ciptaker. 

Hal ini dapat dibenturkan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat (3) bahwa “Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut” sedangkan Perppu No. 2 Tahun 2022 ini gagal mendapatkan persetujuan dari DPR maka seharusnya Perppu ini dicabut. Adapun ketentuan kedua, merujuk pada UU P3 Pasal 52 ayat (6) bahwa DPR atau Presiden harus mengajukan RUU tentang pencabutan Perpu Ciptaker. Tetapi ketika sudah disahkan menjadi Undang-Undang DPR tidak mengeluarkan RUU untuk mencabut Perppu Ciptaker sesuai dengan ketentuan yang ada.

Dibalik itu semua, ternyata terlihat juga upaya pelemahan dalam Mahkamah Konstitusi sendiri. Pada september 2022, Komisi III DPR resmi mengganti Hakim Aswanto dengan Guntur Hamzah sebagai Hakim MK. Pemerintah beralasan bahwa Hakim Aswanto mengecewakan DPR dalam pengambilan keputusan UU. Terlebih memberhentikan tepat ditengah masa jabatannya dan jika dilihat lagi pada UU MK Pasal 23 ayat (2) terkait ketentuan pemberhentian Hakim seharusnya dapat diberhentikan ketika selesai masa jabatannya. Hal ini menjadikan seolah-seolah DPR memberikan sanksi terhadap Mahkamah Konstitusi karena membatalkan produk hukum berupa Undang-Undang.

Dengan dikeluarkannya Perppu terlihat bahwa Presiden dan DPR tidak melaksanakan amanah yang dikeluarkan oleh MK terkait perbaikan dalam aspek formil UU. Justru terkesan hanya menyalin muatan isi dari UU Ciptaker ke dalam Perppu. Melihat hal tersebut, berarti Pemerintah tidak pernah melihat aspek prosedur dan lebih mementingkan kepentingan kelompok terkait.

Kepentingan Hukum atau Oligarki

           Oligarki diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang dan dikendalikan oleh segelintir orang untuk mencapai kepentingannya. Hal-hal yang menjadi objek kekuasaannya seringkali menjadi faktor dalam pembuatan regulasi yang didalamnya termuat segala kepentingan pribadi. Analisis terkait siapa yang memiliki kepentingan dalam UU Cipta kerja bisa kita perhatikan dari sebuah proses pembuatan dan muatan yang memiliki keberpihakan pada kelompok kepentingan. Undang-Undang ini menjadi sebuah hadiah dan prestasi bagi orang-orang yang memiliki kepentingan dalam ekonomi. Sekilas kalau kita melihat pernyataan pemerintahan terkait kegentingan yang memaksa memiliki kontradiksi pernyataan terkait pertumbuhan makro ekonomi APBN  2023 yang bertumbuh 5,3 persen.

Kekosongan hukum juga menjadi alasan pemerintah juga dalam merumuskan Undang-Undang Cipta Kerja. Sebenarnya jika melihat UU sebelumnya, Perppu Cipta kerja seharusnya permasalahan dalam aspek formil dan materiil pada muatannya harus diperbaiki bukan dengan menjadikan Perpu sebagai alternatif. Alasan dikeluarkannya Perppu dalam menjawab kekosongan hukum seharusnya tidak sepenuhnya diterima. Permasalahan dalam UU ini tidak hanya dalam aspek formil, tetapi juga dalam aspek Materil. Pertama, pada sektor Ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan regulasi baru dalam upah minimum yang berbeda. Hal ini termaktub dalam Pasal 88F yang terdapat diksi “Keadaan tertentu” menjadi dilema karena penentuan upah minimum akan cenderung berubah sewaktu-waktu sesuai dengan subjektivitas pemerintah. Dalam hal ini jelas bahwa para buruh/pekerja tidak mendapatkan kepastian hukum dalam penentuan upah minimum. 

 Kedua, pada pengurangan pesangon terhadap pekerja. Jika melihat UU Ketenagakerjaan tahun 2003, jumlah uang pesangon telah diatur secara tetap yaitu Pasal 156 ayat (2) pengupahan harus sesuai dan tetap pada masa kerjanya. Hal ini mengalami perubahan pada UU Cipta Kerja yang menurunkan jumlah pesangon bagi orang yang keluar atau dikeluarkan.

Ketiga, tidak adanya batasan dalam Outsourcing. Hal ini termuat dalam UU Ciptaker Pasal 64 ayat (1) yang membebaskan batasan jenis kegiatan Outsourcing. Berbeda dengan Pasal ketenagakerjaan sebelumnya yang memberikan batasan berupa pernyataan perjanjian pemborongan dalam penyerahan pekerjaan alih daya. Regulasi baru ini menjadikan Outsourcing menjadi leluasa untuk masuk.

Keempat, dihapusnya ketentuan cuti bagi perempuan yang hamil dan haid. Sebelumnya pada UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 Pasal 81 ayat (1) termuat hal cuti bagi pekerja perempuan yang mengalami haid kemudian Pasal 82 ayat (1) yang memberikan cuti selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Regulasi cuti ini dihilangkan pada UU Cipta Kerja yang baru. Hal ini menjadi beban bagi perempuan yang secara kodrat mengalami haid dan hamil, secara tidak langsung hak perempuan tidak dipedulikan dalam aspek biologis dan hanya menghisap tenaga nya sebagai pekerja.

Kelima, di sektor lingkungan. Pada Pasal 162 terkait ancaman pidana bagi orang yang mengganggu kegiatan pertambangan yaitu kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak 100 juta. Pasal ini akan menjadi multitafsir dan karet dalam penerapan nya, sebagaimana kita tahu banyak sekali kegiatan pertambangan yang memberikan dampak pada lingkungan sehingga banyak sekali protes yang muncul dari masyarakat. Pasal ini juga seolah menjadi sebuah tameng bagi para pengusaha tambang yang melakukan aktivitas pertambangan agar terhindar dari gangguan.

Undang-Undang Cipta Kerja ini seketika menjadi sebuah bayang-bayang bagi para pekerja/buruh dan orang-orang yang merasa terdampak. Masih banyaknya pasal-pasal yang bermasalah serta tidak mematuhi perintah konstitusi. Dalam hal ini secara terang-terangan pemerintah sebagai pembuat kebijakan tidak pernah memperdulikan aspek-aspek formil dan materil. Proses yang disetir secara ugal-ugalan dan hanya mementingkan kepentingan lain yang ingin dicapai membuat adanya kegemukan regulasi yang sebenarnya secara implementasi akan menimbulkan sebuah anomali.

NKRI harga Oligarki bukan harga mati

 

M. Ilham Laksana Pasya

Staff Bidang Hikmah Komisariat Renaissance FISIP UMM

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Author avatar
IMM Renaissance