“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
(Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945).
Sebagaimana kutipan di atas, sebenarnya segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan negara kita sudah menetapkan perihal kesetaraan diantara warga negara tanpa memandang status gender. Hal ini tentu menjadi pondasi penting dalam melanjutkan perjuangan dan cita-cita R. A. Kartini untuk mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan di Indonesia. Di mana Kartini berharap perempuan tidak menjadi warga negara berlabel “kelas dua” atau berada di bawah laki-laki, ia ingin adanya kesetaraan.
Jika kita membahas mengenai kesetaraan dan keadilan gender yang terngiang dalam pikiran kita adalah laki-laki dan perempuan harus memiliki sesuatu yang sama tanpa ada perbedaan sedikitpun. Bahkan tak jarang terjadi pro dan kontra terhadap kasus kesetaraan dan keadilan yang terus menerus digaungkan. Perempuan, laki-laki, kesetaraan dan keadilan gender termasuk pada topik pembahasan yang tidak pernah basi untuk diperbincangkan.
Akan ada kalimat-kalimat seperti “bukannya sekarang sudah setara ya,” atau “udah banyak kok perempuan yang mendapatkan haknya,” atau kalimat “ngapain sih masih bahas ketertindasan, lihat saja sekarang perempuan sudah bisa kerja, sekolah tinggi, banyak juga di ruang-ruang publik.” Demikian kiranya yang kerap kita dengar ketika membahas mengenai kesetaraan dan keadilan gender.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, perlu memahami kembali makna kesetaraan dan keadilan gender. Karena tak sedikit yang masih sering keliru dalam mengartikan makna keadilan dan kesetaraan itu. Kesetaraan berasal dari kata setara yang artinya sejajar atau sama tingkatannya. Sedangkan keadilan berasal dari kata adil yang artinya tidak berat sebelah. Mungkin sekilas dari artinya kita akan menganggap bahwa itu sama.
Namun yang menjadi perbedaan, setara adalah mendapatkan sesuatu dengan porsi yang sama semisal dalam hal pendidikan dan berpendapat, laki-laki dan perempuan harus memiliki porsi yang seimbang dalam mengakses hal tersebut. Berbeda dengan adil, adil adalah mendapat sesuatu sesuai dengan kemampuan seperti halnya perempuan yang mendapatkan cuti haid atau cuti melahirkan ketika bekerja sedangkan laki-laki tidak demikian.
Mengapa gender, kekerasan, ketidakadilan identik dengan perempuan?
Hal demikian terjadi karena adanya penyalahgunaan kewenangan relasi kuasa dari konstruksi gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.
Memang benar saat ini perempuan sudah memiliki akses ruang publik, ruang kerja bahkan ruang pendidikan. Namun, hal itu masih belum menjawab permasalahan yang terjadi mengenai keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan. Akses publik yang diberikan justru menjadi ancaman, mengapa demikian? Karena kekerasan di ruang publik terkhusus dunia kerja menduduki peringkat tiga dari banyaknya kekerasan yang dialami perempuan. Kekerasan yang terjadi ini dapat berupa verbal maupun non verbal.
Tak berhenti pada dunia kerja saja, bahkan pada ruang lingkup pendidikan pun demikian. Banyak pelajar-pelajar maupun mahasiswa terkena kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan itu sendiri. Tercatat di penghujung tahun 2022 hingga saat ini sebanyak 17.150 total kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sejumlah 15.579 kekerasan yang terjadi terhadap perempuan sedangkan 1.571 terjadi pada laki-laki. Seperti awal tahun 2023 ini yang diawali dengan 10 kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan. Mengutip dari data Federasi Serikat Guru Indonesia terdapat 86 siswa yang menjadi korban kekerasan seksual di sekolah.
Contoh kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini kondisi perempuan masih mengalami ketertindasan. Bukan pada ranah akses ruang publik lagi yang menjadi persoalan. Namun, ruang publik yang diperjuangkan berbalik menjadi hantu yang meneror kaum perempuan.
Meskipun yang kerap menjadi sorotan kasus-kasus mengenai kekerasan adalah keadilan bagi perempuan. Bukan berarti laki-laki sudah mendapatkan keadilan dan tidak pernah mengalami kekerasan. Kekerasan ini tidak digaungkan untuk perempuan saja. Karena kekerasan berkaitan dengan pelanggaran HAM yang itu mencakup laki-laki dan perempuan, maka setiap manusia yang mengalami kekerasan adalah bentuk ketidakadilan.
Eka Shofariyah Nailurrohmah Ketua Bidang Media dan Komunikasi Komisariat Renaissance FISIP UMM Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang