preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Selamat Hari Kartini Untuk Perempuan-Perempuan Tangguh Penerus Bangsa

Mengiri aku pada ibu kartini, beliau memperjuangkan kecerdasan wanita, karena dia tahu, kecerdasan wanita ialah kebangkitan bangsa, karena dari wanita, pendidik penerus bangsa dimulai, entah anak laki maupun perempuan. Sedangkan sekarang, kaum lemah banyak yang dilalaikan dengan baju dan make – upnya. Padahal, “ kemerdekaan wanita” yang diperjuangkan selama ini tidak sesempit itu. Banyak tantangan peradaban disana yang menunggu penerus  tangguh yang lahir dari ibu yang tangguh pula.” 

Hari ini, tepat satu tahun tulisan di atas dikirim oleh salah satu perempuan tangguh penerus bangsa yang saya kenal, dan sampai sekarang ia masih konsisten dan progresif berjuang sebagai perempuan tangguh penerus bangsa. Tulisan di ataslah yang menjadi dorongan kuat bagi saya untuk mempelajari sejarah perjuangan kartini muda dalam memperjuangkan kesetaraan bagi kaum laki-laki dan perempuan hingga  hari ini, saya kembali mengingat perjuangan-perjuangan perempuan masa kini yang sudah agak memudar seiring perkembangan zaman.

Tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasa Raden Ajeng Kartini atau biasa disingkat R.A Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Selain Kartini, ada juga pejuang-pejuang perempuan lain yang tidak saya sebutkan satu-persatu, semisal Dewi Sartika dan kawan-kawannya yang juga memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.

Raden Ajeng Kartini adalah perempuan asal Jepara, Jawa Timur yang lahir pada 21 April 1879. Kartini berasal dari kalangan bangsawan Jawa yang merupakan putri dari bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah. Kartini lahir di era penjajahan, di mana diskriminasi terhadap kaum perempuan sangatlah terasa.

Tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hukum maupun peran sosial dalam masyarakat. Pada masa itu, perempuan tidak boleh pergi ke sekolah ataupun bekerja. Banyak orang beranggapan bahwa tugas perempuan itu cukup tinggal di rumah, masak, dan melayani suami. Dengan perempuan diibaratkan seperti simbol atau perhiasan dari seorang laki-laki. Menyamakan perempuan sebagai barang.

Dari situlah mulai pemikiran Kartini atas berbagai masalah termasuk tradisi feodal, pernikahan dini, poligami, dan konstruk pendidikan yang tidak penting untuk perempuan, karena masyarakat berfikir bahwa, akhir dari perempuan adalah peran domestiknya. Pemikirannya itu, ia tuliskan dalam beberapa surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya di Belanda.

Jika teman-teman sudah menonton atau membaca sejarah ataupun biografi R.A Kartini tentu kita ketahui bersama bahwa dari buku, surat kabar, dan majalah Eropa yang dibacanya, Kartini mulai tertarik dengan kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Itulah yang membuat keinginan Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan pribumi. Tulisan-tulisan Kartini sangat menarik perhatian masyarakat Belanda. Dengan begitu pemikiran Kartini memiliki pengaruh yang cukup besar pada dalam penerapan kebijakan pemerintah kolonial di wilayah jajahannya, terkhusus di Jawa.

Kebijakan politik etis yang kita ketahui memiliki dampak eksploitasi yang besar, namun dari sini pula gerbang pendidikan yang awalnya tersekat pada golongan aristokrat saja dan dan condong pada salah satu gender saja, membuat celah bagi kaum perempuan untuk dapat mengenyaman juga. Dari situlah mulai muncul gerakan perempuan secara individu yang memperjuangkan hak pendidikan kaum perempuan.

Lambat laun gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan mulai bermunculan, Itulah awal mula kesetaraan gender pada perempuan sudah tak dianggap tabu lagi. Salah satu tulisan yang kemudian sangat identik dan akan mengingatkan kita pada Kartini adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diambil dari kumpulan surat-surat Kartini dengan temannya di Belanda.

Nah… bagaimana dengan saat ini? Masihkah ada perempuan-perempuan yang memiliki semangat juang tinggi seperti Kartini pada waktu itu?

Tentunya ada, namun tidak banyak. Karena seiring perkembangan zaman dan teknologi, seperti yang ditulis di atas bahwa kaum lemah banyak yang dilalaikan dengan pakaian dan makeupnya. Di era ekonomi global saat ini, perempuan yang menjadi sasaran utama pasar, dengan standar-standar penampilan yang dibuat oleh para kapitalis, dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan pasar. Dengan kondisi seperti ini, sebagian besar perempuan yang kurang memahami bahwa ia adalah sasaran eksploitasi ekonomi, seolah terninabobokan dengan berbagai fasilitas yang bertujuan untuk menekan kesadaran itu.

Padahal “kemerdekaan wanita” yang diperjuangkan selama ini tidak sesempit itu. Banyak tantangan peradaban yang membutuhkan perempuan-perempuan tangguh untuk menjawab permasalahan dengan memperkuat kapasitas pemahaman, menggunakan cara yang tidak jauh berbeda dengan Kartini yaitu, membaca banyak buku sehingga kualitas sumber daya perempuan dalam ilmu pengetahuan tidak kalah saing dengan laki-laki. Dengan begitu anggapan bahwa kaum lemah yang dialihkan dengan baju dan makeup di sebagian kalangan itu tidak ada lagi.

Melihat beberapa kaum perempuan yang dilalaikan dengan pakaian dan makeup, tanpa sadar turut melegalkan konstruk bahwasannya perempuan merupakan komoditas. Mengingat perkataan Ayah saya ketika ada sebuah acara keluarga di rumah. Beliau mengatakan, “anak-anakku, untuk memperlihatkan ketampanan dan kecantikan itu tidak perlu menggunakan makeup yang berlebihan untuk mempercantik diri, cukup dengan membasuh muka lima kali di setiap harimu (berwudhu)”.

Ini mungkin sekalian menjadi resep bagi kita sesama kaum muda. Dengan begitu ketika seorang perempuan ataupun laki-laki yang memiliki ilmu pengetahuan yang banyak maka ia akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda-mudi dan juga menjadi amal dan kekayaan intelektual kita.

Walaupun Kartini sudah meninggal dunia, sampai saat ini namanya tetap diapresiasi sebagai tokoh perempuan nasional yang berjuang dalam emansipasi perempuan. Dan setiap tanggal 21 April, banyak kampus-kampus dan bahkan sekolah-sekolah atau kegiatan di luar sekolah yang mengajak anak-anak untuk menyambut dan merayakan Hari Kartini, namun karena sekarang kita dihadapkan dengan pandemi Covid-19, sehingga tidak merayakan Hari Kartini seperti biasanya dengan mengenakan pakaian kebaya di sekolah-sekolah. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 kita bisa merayakan Hari Kartini di rumah kita masing-masing ataupun di kos bagi mahasiswa yang tidak pulang kampung, dengan cara berdiskusi dengan keluarga, teman-teman baik di rumah maupun menggunakan media daring. (meh)

 

Oleh: Immawan ABD Fatah Alaudin Benihingan (Sekretaris Bidang Organisasi)

Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *