preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Hijab : Bentuk dan Simbol Kemunduran Dalam Kaum Feminis?

Permasalahan mengenai gender dan jalur-jalur perjuangannya bukanlah suatu topik percakapan yang mudah untuk dilakukan. Tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan ini membuat banyak pihak merasa tidak nyaman, bahkan berpotensi menyinggung, karena banyaknya perdebatan dan perbedaan pendapat terkait dengan hal ini.

Jika berbicara juga terkait dengan posisi hijab di mata dunia ini, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai hal yang problematik. Kata hijab sering dimaknai beriringan dengan standar moral juga tingkat religiusitas yang dimiliki oleh seseorang yang memeluk agama Islam. Tak jarang pula hijab digunakan sebagai victim juga sebagai alat yang pantas untuk ditindas dan diadu domba oleh struktur yang berkuasa. Hal ini pun semakin diperumit ketika persoalan penggunaan hijab kerap kali berujung pada pengucilan sosial dan sikap cenderung merendahkan kepada orang-orang muslim yang belum berencana untuk menggunakan hijab.

Dengan semakin berkembangnya gagasan terkait feminisme, banyak pula aliran yang bermunculan, mulai dari feminisme liberal, radikal, kapital, dan lain sebagainya. Tidak sedikit kaum-kaum feminis yang menjadikan simbol hijab sebagai suatu bentuk kemunduran.

Seorang tokoh feminis asal Maroko, yakni Fatima Mernisi, yang berkata bahwa dengan lahirnya konsep menutup aurat dengan hijab merupakan suatu simbol kemunduran yang dialami bagi kaum perempuan untuk mendapatkan akses kesetaraan sosial dan perlakuan yang adil yang dikatakan dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Dalam Islam”. Dalam pandangannya, hijab dalam konteks tasawuf memiliki identik dengan hal-hal yang negatif yang diakibatkan oleh hatinya juga terhijab dari cahaya-cahaya kebenaran.

Banyak juga tokoh feminis Barat yang menganggap penggunaan hijab sebagai sebuah simbol opresi patriarkal yang paling realistis yang dialami oleh perempuan. Lebih dari 50 persen perempuan yang memutuskan untuk menggunakan hijab kehilangan kesempatannya untuk bergelut di ranah publik karena adanya deskriminasi agama. Mereka mendapat perlakuan yang berbeda yang diterima oleh perempuan pengguna atribut keagamaan seperti hijab. Beberapa hal ini menjadi faktor mengapa sebuah benda mati berupa selembar kain bisa dikatakan sebuah simbol kemunduran.

Dalam hal ini terjadi perubahan muatan nilai yang terkandung dalam konteks hijab dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara luar. Nilai tersebut semula merupakan sebuah hal yang bermuatan sebagai pembangkit bara semangat dalam melakukan perjuangan dan pembebasan dalam melawan penjajah pada era kolonialisasi, dan juga bermuatan tentang Islam yang progresif.

Seiring dengan berjalannya waktu nilai-nilai tersebut mengalami kemunduran yang menggunakan hijab dalam beberapa aksi protes dengan melepas hijab dan menyalahkannya atas tidak tercapainya konsep kesetaraan yang diinginkan. Hal-hal yang berhubungan dengan hijab kerap kali ditampilkan di media, seperti dalam industri perfilman pun nampaknya seringkali berlawanan arah dengan apa yang dikatakan sebagai kemajuan.

Dengan munculnya gagasan serta narasi-narasi seperti itu, kita seharusnya bisa melihat dan memahaminya dalam konteks yang lebih luas, dimana pada dasarnya hijab itu hanya selembar kain yang pada hakikatnya bebas dari nilai-nilai yang sering dikaitkan dengannya. Tidak ada makna yang khusus dalam kata hijab, manusialah yang mengonstruksi makna terhadap sesuatu.

Menggunakan hijab sebenarnya adalah hak untuk setiap perempuan. Daripada melakukan penyematan nilai pada hijab, alangkah baiknya kita melihat penggunaan hijab sebagai sebuah pakaian kesopanan yang digunakan atas kepercayaan masing-masing individu. Perempuan memiliki kuasa atas dirinya sendiri dan hal tersebut tidak dipertanggungjawabkan kepada apa yang dia gunakan, dan penggunaan hijab tidak memiliki kuasa apapun terhadap diri seorang perempuan.

Hal ini bisa diselesaikan dengan mengubah cara pandang kita masing-masing yang seharusnya memandang seseorang dari partisipasinya, kontribusinya, hingga prestasinya, dan bukan terpaku pada apa yang dia gunakan. Sebagai seorang perempuan yang merdeka, kita pastinya mempunyai hak untuk memilih, dan memiliki perbedaan presepsi terkait segala sesuatu, akan tetapi hal tersebut bukan untuk dihakimi. (din)

 

Oleh : Immawati Fairuz Mohammad (Kader Angkatan 2019)

Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *