preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Gantikan Pers Umum, Pers Mahasiswa Cetak Hingga 70.000 Oplah

Sumber: nationalgeographic.grid.idl

Pers mahasiswa sama dengan pers umum yang memiliki peran dan fungsi sebagai pers, yakni memenuhi kebutuhan informasi publik. Juga, melepaskan dahaga dan kegelisahan publik, menambah pengetahuan publik dan memberikan informasi yang benar kepada publik.

Hanya ada satu hal yang membedakan pers mahasiswa dengan pers umum, amatir. Dalam pengelolaannya juga, pers mahasiswa menghadapi problem profesionalisme dalam pengelolaannya. Hal ini disebabkan karena pers mahasiswa yang notabenenya dikelola oleh mahasiswa, belum terlatih untuk mengelola pers secara profesional. Selain itu, mahasiswa juga dihadapkan dengan tuntutan menyelesaikan studi dalam 4 tahun.1 Walaupun tuntutan tersebut juga hanya sekadar memenuhi target dan memperingan beban jurusan untuk mengurusi akreditasi. Nyatanya, juga tidak menjamin mahasiswanya lebih paham, cemerlang atau lebih cepat memperoleh pekerjaan jika dipikir secara pragmatis. Sama saja.

Tuntutan tersebut, membuat mahasiswa tidak hanya fokus untuk mengelola medianya. Selain itu tidak ada perbedaan yang signifikan, karena prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh pers mahasiswa sama dengan pers umum. Perbedaannya hanya pada siapa yang mengelola pers tersebut. Eksistensi dari pers mahasiswa ialah untuk merefleksikan realitas yang ada di lingkup mahasiswa.

Pers Mahasiswa Dihadapkan dengan Situasi Menjadi Media Politik Penguasa

Pers mahasiswa mengalami pasang surut dan dinamika dalam meneribitkan karya-karya jurnalistiknya. Hal ini tidak terlepas dari bentuk pemerintahan dan kebijakan-kebijakan sepanjang rezim. Tentu sejak pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi dan pasca reformasi. Di era Demokrasi Liberal dan awal Demokrasi Terpimpin, pers mahasiswa berubah menjadi media politik yang provokasi, agitasi dan mengutamakan nilai-nilai kelompok. Hal ini sesuai dengan kebijakan politik saat itu yang memerintahkan agar semua organisasi mahasiswa berafiliasi dengan partai.2 Kondisi politik itulah yang mendominasi pers mahasiswa sampai peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Isi pemberitaan pers mahasiswa berubah orientasi  untuk mengkritisi sistem politik demokratis terpimipin. Pada titik ini pers mahasiswa ikut aktif mencari, merumuskan dan menegakkan ideologi pembangunan (modernisasi).

Setelah penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, berakhir pula kepemimpinan dari Soekarno. Pada saat itu lahirlah surat-kabar dan majalah mahasiswa yang keseluruhannya adalah anggota Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pada awal periode, pers mahasiswa kembali dengan IPMI sebagai organisasinya mencapai kembali puncak kebesarannya. Pada tahun 1971, setiap kegiatan terutama kegiatan politik diatur agar tetap berada di bawah kontrol pemerintah. Juga, berlaku untuk setiap aktivitas dunia kemahasiswaan, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan konsep “Back to Campus”.3

Bulan Madu Pers Mahasiswa dan Soeharto yang Berakhir

Jika sebelumnya aktif untuk mengkritisi kebijakan pemerintahan Soekarno dan tampil sebagai pembela utama Orde Baru, setelah Pemilu 1971 pers mahasiswa banyak mengkritik kebijakan Orde Baru. Bulan madu Orde Baru dan mahasiswa pun berakhir pada tahun 1974. 4

Tahun 1971-1974 merupakan kemunduran bagi pers mahasiswa Indonesia, karena beberapa diantaranya dilarang terbit.  Di tahun ’74 juga, peristiwa yang masih lekat diingatan aktivis mahasiswa hingga saat ini, Malapetakan 15 Januari (Malari), pecah. Akhirnya orde baru berusaha menekan mahasiswa untuk tidak banyak “ikut campur” pada kebijakan-kebijakan nasional. Mahasiswa dijauhkan dari politik nasional. Hingga di tahun 1978, melalui Menteri Pendidikan, Daoed Joesoef, orde baru menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Sebelumnya, di tahun 1975, melalui surat Menpen No.01/Per/Menpen/1975, Menteri Pendidikan mempersempit gerak mahasiswa agar lebih “kondusif” dan bergerak di ranah kampus saja.5 Hingga, pemerintah orde baru mengubah nama pers mahasiswa menjadi penerbitan mahasiswa. Hal ini menggambarkan jika orde baru lebih menyukai istilah penerbitan yang jauh dari kata pers yang cenderung dapat melawan dan mengkritis berbagai kebijakan. Dengan istilah penerbitan, maka, orde baru mengharapkan jika peliputan yang dihasilkan ialah topik-topik seputar keilmuan pada masing-masing jurusan, fakultas atau universitas secara umum. Beberapa pers mahasiswa berdarah-darah memperjuangkan lembaganya tetap hidup, namun ada juga yang pada akhirnya mati karena sirkulasi pendanaannya distop oleh institusi yang menaunginya. Namun, tak sedikit penerbitan mahasiswa yang masih hidup, tetapi tidak sebesar Harian KAMI.

Setelah peristiwa Malari, beberapa penerbitan-penerbitan pers umum dibredel. Sebaliknya, pers mahasiswa yang berada dalam lingkup kampus diberi angin untuk hidup kembali. Hal ini dimanfaatkan oleh “Salemba”, “Gelora Mahasiswa”, dan “Kampus” yang berani menyampaikan fakta yang ada di masyarakat. Suhu politik menjadi hangat saat menjelang Sidang Umum MPR pertentangan politik, pers mahasiswa menampilkan protes-protes kelompok politik dalam masyarakat. Pers umum juga menampilkan isi pemberitaan yang serupa namun tidak sekeras dan setajam pers mahasiswa.

Awal tahun 1978, beberapa surat-kabar umum ternama seperti KOMPAS, SINAR HARAPAN, MERDEKA, INDONESIA TIMES, dan beberapa surat kabar lainnya dibredel. Pembredelan terhadap surat kabar umum ini menyebabkan kekosongan sementara pada pers umum, dan kekosongan tersebut diisi oleh pers mahasiswa dengan isi pemberitaan yang keras dan tajam. Namun pada akhirnya pers mahasiswa juga mengalami pembredelan, hampir seluruh pers mahasiswa diberhentikan terbit oleh pemerintah dan setelah kurang lebih 6 bulan diperbolehkan terbit kembali.

OPLAH PUNCAK PERS MAHASISWA INDONESIA

NAMA PENERBITAN

OPLAH MINIMAL TAHUN OPLAH MAKSIMAL

TAHUN

Mimbar Demokrasi

3.000 Exemplar

1967 48.000 Exemplar

1968

Mahasiswa Indonesia

7.000 Exemplar

1966 30.000 Exemplar

1974

Harian Kami

12.000 Exemplar

70.000 Exemplar

1966 – 1967

Kampus

2.500 Exemplar

30.000 Exemplar

1978

Salemba

5.000 Exemplar

1976 30.000 Exemplar

1978

Gelora Mahasiswa

16.000 Exemplar

16.000 Exemplar

1978

*Sumber: Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh, Hilang Berganti, Amir Effendi Siregar, Hal. 101
“Kesempatan Kedua” Untuk Terbit

Di akhir tahun 1978, saat NKK/BKK berlaku, pers mahasiswa diperbolehkan untuk terbit kembali. Namun konsekuensinya diterapkan kebijakan baru yaitu semua bentuk kegiatan mahasiswa harus dalam pengawasan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan), salah satunya pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang berada di bawah naungan kampus harus berada di dalam struktur BKK.

Beberapa lembaga pers mahasiswa menolak untuk masuk ke dalam struktur BKK karena aktivis pers mahasiswa bersikeras mempertahankan sifat independensi penerbitannya. Beberapa lembaga pers mahasiswa di universitas lainnya diberikan kesempatan untuk berada di luar struktur BKK, yaitu Biro Penerbitan Universitas yang berada di bawah tanggung jawab rektor secara langsung. Dalam menjaga independensi penerbitannya, aktivis pers mahasiswa memilih masuk ke dalam struktur universitas lainnya. “Salemba” (UI) dan “Gelora Mahasiswa” (UGM) sangat diuntungkan dalam kondisi ini, karena rektor universitasnya memberikan kebebasan penuh kepada pers mahasiswanya untuk menentukan kebijakan redaksionalnya.6 Terlebih lagi dengan “Kampus” (ITB) yang memiliki keleluasaan untuk bergerak karena rektornya yang secara terang-terangan menolak kebijakan NKK/BKK di kampusnya.

Protes-protes atas kebijakan NKK/BKK dilakukan pers mahasiswa dengan menyajikan ulasan kritis dan aksi protes tersebut hanya bertahan hingga tahun 1980. Atas aksi protes terhadap NKK/BKK, pers mahasiswa dihadapkan dengan pembredelan. Ada banyak lembaga pers mahasiswa yang dibredel, ada yang dibekukan oleh rektornya, dilarang terbit, dan ada pula yang dicabut izin penerbitannya.

Walaupun pers mahasiswa tingkat universitas telah dibredel, aktivitas para aktivis pers mahasiswa tidak berhenti begitu saja. Para aktivisnya masih aktif melakukan kegiatan non-penerbitan melalui Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) seperti diskusi, seminar, serta pendidikan dan pelatihan jalinan kerja antar aktivis pers mahasiswa terus bertahan. Namun pada akhirnya IPMI juga tidak dapat menentukan sikapnya dan cenderung mengambang dengan beragam kebijakan orde baru.

Dengan dinamika yang dialami Pers Mahasiswa saat orde baru, mulai dari keakraban bulan madu dengan orde baru, kemunduran pers mahasiswa, perseteruan NKK/BKK, hingga pembredelan terhadap pers mahasiswa. Maka, kita bermuara pada pertanyaan yakni,

“Teknologi semakin mempermudah banyak hal, sedangkan penindasan masih terus terjadi, ketidakadilan kebijakan nasional juga masih banyak yang membelenggu. Apakah pers mahasiswa dapat memainkan perannya kembali, hingga mencapai puncak oplah layaknya Mimbar Demokrasi dan Harian Kami, mencetak 40.000 hingga 70.000 oplag dan dikonsumsi oleh khalayak luas? Dapatkah pers mahasiswa menjadi opinion leader secara menyeluruh di kampusnya masing-masing atau bahkan dapat berkolaborasi dengan pers umum seperti Balairung dan beberapa lainnya yang sudah mendahului, beberapa waktu lalu.”

 

Andi Sitti Nurfaisah

KETUA BIDANG MEDIA DAN KOMUNIKASI – IMM RENAISSANCE FISIP, UMM
MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
  1. Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh, Hilang Berganti, 5
  2. Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh, Hilang Berganti:45
  3. Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh, Hilang Berganti: 53
  4. Supriyanto, Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK: 71
  5. Supriyanto, Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK: 82
  6. Supriyanto, Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK: 78
Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *