Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) genap berusia 58 tahun. Sejak didirikan pada tanggal 14 Maret 1964 silam, IMM melewati pasang surut perjuangan dan dinamika bangsa yang begitu berat. Namun berkat keikhlasan serta pengorbanan kadernya dalam mengukuhkan gerakan, IMM mampu bertahan dengan kokoh hingga detik ini.
Sebagai organisasi otonom Muhammadiyah, IMM dalam gerakannya tentu harus mengacu pada nilai-nilai fundamental Muhammadiyah baik dalam konteks kereligiusitasan, kemahasiswaan hingga kemasyarakatan. Bagi Muhammadiyah, IMM sengaja dilahirkan untuk mempersiapkan kader-kader intelektual-ulama atau ulama-intelektual dengan harapan dipundaknya Muhammadiyah bisa dititipkan.
Kader adalah darah yang menghidupkan organisasi. Mereka tidak tiba-tiba ada, tetapi harus disiapkan dengan penuh kematangan serta kualifikasi yang mumpuni. Tentu filosofi Jawa tetap berlaku jer basuki mowo beo (perjuangan membutuhkan pengorbanan). Kaderisasi adalah investasi aset yang jauh lebih penting dibanding sekedar sarana dan instrumen lain dalam organisasi. Proses kaderisasi juga tidak mungkin dilakukan sendirian, tetap harus berjamaah, penuh kesabaran serta berkesinambungan.
Setiap tahun ribuan mahasiswa mengikuti Darul Arqam Dasar sebagai gerbang awal untuk menjadi anggota IMM dan dilanjutkan dengan proses perkaderan dan pengkaderan. Tapi selepas itu semua, berapa banyak anggota yang menjadi kader Persyarikatan, kader umat dan kader bangsa? Berapa banyak kader yang kemudian lanjut di struktural IMM? Berapa banyak kader yang kemudian lanjut mengabdi di Pimpinan Muhammadiyah? Berapa banyak kader yang kemudian menghidupi Amal Usaha Muhammadiyah? Berapa banyak kader yang tetap konsisten membela kaum mustadhafin?
Perkaderan adalah Ideologisasi
Ditinjau dari segi ideologis (Identitas Ikatan Poin 1) dan historis, IMM sebagai organisasi perkaderan adalah keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat. Kaderisasi adalah kewajiban di setiap struktural IMM mulai dari tingkatan bawah hingga paling atas. Hanya saja kecenderungan hari ini IMM sibuk menggelar kaderisasi namun gagal dalam mengorbitkan kader-kader terbaiknya. Memang benar bahwa perkaderan ditekankan pada proses, tetapi ketika tidak menampakkan hasil, bukankah ini sebuah kegagalan? Fenomena ini pada akhirnya menciptakan ‘kuburan massal intelektual’.
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 138, Allah SWT berfirman yang artinya “Shibghah Allah. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya kami tuduk patuh”. Apa yang dikemukakan dalam ayat ini adalah tentang ajaran Nabi Ibrahim, seperti keesaan Allah SWT, penyerahan diri secara penuh kepada Allah tentang Islam. Secara etimologi, kata sibghah berarti celupan. Jika kita mencelupkan sesuatu, maka sesuatu itu akan mengambil warna sesuai warna celupan, dan ia akan meresap ke dalamnya.
Hal ini berbeda dengan cat yang tidak meresap dan hanya mewarnai permukaannya saja. Sedangkan celupan meresap dan menyatu ke dalam pori-pori. Celupan yang baik tidak akan luntur walau silih berganti panas dan dingin, angin dan embun menerpanya. Demikianlah seharusnya proses perkaderan berjalan sebagai bagian dari ideologisasi yang utuh dan mendalam. Sistem Perkaderan Ikatan juga menegaskan bahwa perkaderan IMM diarahkan pada upaya transformasi ideologis dalam rangka regenerasi IMM di setiap level kepemimpinan.
IMM harus menyambut gaung revitalisasi ideologi Muhammadiyah yang telah lama diputuskan dalam Tanwir Muhammadiyah pada tahun 2007. Sudah menjadi kewajiban bagi kader IMM untuk memahami nilai-nilai ideologi Ikatan, tapi tidak cukup jika hanya berhenti disana. Kader IMM juga selayaknya mempelajari nilai-nilai Ideologi Muhammadiyah sehingga memiliki gambaran yang komprehensif dan holistik bagaimana seharusnya menjadi seorang kader dan mampu menjadi pewaris tampuk pimpinan umat nanti.
Seandainya nilai-nilai ideologi Ikatan dan Muhammadiyah diinternalisasikan dengan penuh keyakinan dalam diri kader itu akan memberikan garansi bahwa setiap kader IMM adalah insan yang memiliki fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas, serta berperangai terbaik sebagai individu maupun insan sosial. Semua itu dinyata-laksanakan sebagai bentuk komitmen moral dan tanggung jawab kesejarahan yang melekat pada jiwa pergerakan, serta didorong oleh kehendak untuk mewujudkan cita-cita Bangsa dan Muhammadiyah.
IMM Laa Raiba Fiih
Tidak ada keraguan dalam IMM. Kalimat ini menyimpan makna eksklusivitas sekaligus menyimpan makna indoktrinasi bahwa IMM adalah gerakan yang tanpa ada keraguan. Ber-IMM berarti ber-Muhammadiyah. Ber-Muhammadiyah berarti ber-Islam. Dengan begitu ber-IMM berarti mewakafkan diri untuk menegakkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
K.H. Ahmad Dahlan juga telah berpesan bahwa durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe (belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri). Jangan sampai kata ‘Islam’ dalam 6 Penegasan hanya hanya tinggal nama. Penegasan IMM sebagai gerakan mahasiswa Islam harus diyakini sedalam mungkin hingga tidak muncul keraguan dalam ber-IMM walaupun butuh banyak pengorbanan dalam memperjuangkannya.
Sehingga rumusan maksud dan tujuan IMM untuk mengusahakan terwujudnya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah, harus ditempatkan pada kenyataan yang riil, bukan suatu gagasan yang hanya ditempatkan di atas meja, akan tetapi harus kita usahakan dengan sekuat tenaga agar bisa menjadi suatu manifestasi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Akhir kata, hendaknya kita semua sebagai kader IMM merefleksikan kembali pesan Ayahanda Haedar Nashir yang disampaikan ketika Tanwir IMM tahun lalu:
“Maka sesibuk apapun ananda, pahamilah Islam, baca Alquran dan hadis-hadis nabi. Baca sejarah dan pemikiran-pemikiran keislaman dari abad pertama hijriyah sampai kontemporer dari manapun sumbernya. Lalu baca pemikiran-pemikiran Muhammadiyah yang begitu maju, melampaui zamannya. Saya yakin bahwa kader-kader IMM inilah yang meneruskan kami-kami ini di pusat sampai di bawah.”