“Itu karma dari perbuatanmu”, sering kali kita telah mendengar kalimat itu dalam kehidupan sehari-hari. Misal dalam sebuah peristiwa yang itu menyebabkan ketidakpuasan diri/kerugian, hal itu tentu dikatakan sebagai pembalasan yang setimpal karena pada waktu lampau kita melakukan hal yang sama.
Seringkali kita mempunyai perspektif bahwasanya apa yang kita lakukan sekarang pasti ada balasannya. Dalam hal ini, teori stoicisme menentang adanya stigma “karma” secara langsung dalam kehidupan diri sendiri.
Stigma karma sendiri, diartikan sebagai pembalasan peristiwa negatif yang dilontarkan orang lain kepada kita. Dengan diksi bahwasanya kita pernah melakukannya di masa lampau, sehingga kita terkena imbasnya hari ini. Contohnya kita di selingkuhin sama pacar, kita beranggapan bahwa itu sudah “karma” karena dulu kita juga begitu, kalau tidak pernah selingkuh? apakah kata karma berlaku?
Contoh lain, kita dizalimi teman, apakah kita dulu pernah melakukan hal yang sama? kalau tidak apakah itu dimaksud karma?. Tentu diksi-diksi masalah karma sendiri mampu meruntuhkan perspektif toleran kepada keadaan. Sehingga apapun itu yang bersifat negatif pasti diklaim bahwasanya itu adalah karma.
Dalam etimologi, karma berasal dari kata sansekerta yang berarti perbuatan dan tindakan. Istilah karma sendiri sudah dicetuskan pada kepercayaan budha, yang dimana para buddhisme percaya bahwasanya yang mati akan lahir kembali.
Buddhisme percaya bahwa karma adalah bagian dari dharma (salah satu kepercayaan yang dianut buddhisme), dharma bisa juga dimaksud ikrar suci dan sebuah doktrin untuk mencapai kebenaran, ajaran, hukum, moral, tujuan hidup dan kewajiban. Dalam kepercayaan budha ada 4 kemuliaan yang biasanya disebut kebenaran mutlak yang berlaku universal dan tidak dapat ditawar.
Begitupun dengan karma, hukum karma adalah hukum sebab akibat tentang perbuatan yang dilakukannya, buddhisme percaya hukum karma adalah hukum tentang apa yang kita lakukan itu pasti berdampak pada kehidupan saat ini, kehidupan kedua, ketiga dan seterusnya.
Seorang buddhis mempercayainya lewat jalur reinkarnasi suatu kehidupan. Sehingga, kalau ada orang yang hidup dengan kesalahan, ia akan menerima kehidupan setelahnya dengan proporsi kualitas hidup yang buruk.
Tentu, stigma karma yang telah dijelaskan diatas, mendapat perlawanan oleh teori stoicisme. Hukum karma memiliki sifat yang memaksa seseorang untuk menerima balasan yang setimpal. Disinilah letak rasionalitas kehidupan manusia sebagai makhluk berakal dipertanyakan.
Adapun teori stoicisme yang mengajarkan kita agar senantiasa tidak menganggap itu hanya sebuah takdir, namun juga bisa dikonversikan menjadi suatu hal yang rasionalis.
- Teori stoicisme mengajarkan bahwasanya apapun yang terjadi itu sudah melewati rangkaian kehidupan. Dalam hal ini bisa dijelaskan bahwa apapun yang terjadi kepada kita itu bukan semena-mena cuma takdir dan dipaksa menerima.
- Ingatlah bahwasanya kita sendiri melakukan kesalahan, dalam satu waktu kita berhasil menghindari kesalahan saat ini, tentu kita akan menghadapi kesalahan berikutnya pada masa depan. Kalau memang karma ini berlaku, berarti manusia takut melakukan kesalahan demi menghindari kerugian yang akan didapat. Sehingga manusia tidak mampu berpikir secara rasional dan terstruktur.
- Stoicisme membagi menjadi 2 bagian dalam kita menghadapi suatu persoalan
- Hal yang ada TIDAK BISA dikendalikan manusia. Contohnya : jodoh, kematian, nasib, kesehatan, kondisi saat kita lahir
- Hal yang BISA dikendalikan manusia. Contohnya : perspektif terhadap suatu kejadian, tujuan, keinginan
“Kamu memegang kendali penuh atas pikiranmu, bukan dari luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan” (Marcus Aurelius).
Teori stoicisme mengajarkan kita bahwasanya kalau kita menggunakan nalar kritis terhadap suatu persoalan, kita akan menjadi makhluk yang merdeka. Bayangkan, kalau kita masih mempercayai hukum karma, doktrin tersebut mampu memberhentikan nalar kritis manusia dan sifatnya terbatas.
Misalnya kita menghindari kesalahan hari ini, pasti hari berikutnya akan melakukan kesalahan yang lain. Kan siapa tau kehidupan kedepannya se
perti apa. Nah, dari sinilah peran stoic ini berlaku, stoic menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengubah keadaan diluar kendali kita, seberapapun kita menghindarinya, semakin terhambatlah pemikiran kritis manusia dalam menerima kejadian.
Stoic mampu menyeleksi kejadian, bahwa sesungguhnya ada rangkaian peristiwa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, dengan rasionalitas nalar kritis yang mampu mengubah perspektif kita terhadap problematika tersebut.
“It is not things trouble us, but our judgment about things” (Epictitus)
“Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan/pemikiran/persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut” (Epictitus)
Kesimpulannya, pemahaman hukum karma itu menjadikan manusia cacat nalar kritis dan penghambatan dalam bertindak secara efisien, karena dari situlah manusia menjadi lemah dan tak mampu bertindak, menerima apa adanya (takdir).
Tapi dalam teori stoicisme mengajarkan bahwasanya ada satu hal yang mampu kita ubah, yaitu perspektif kita terhadap suatu peristiwa, yang membuat kita semakin percaya diri dan menjadi power dalam bertindak kedepannya.
Muhammad Azlan Syah Arifinanda Kader IMM Renaissance FISIP UMM Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang