Berbicara tentang persyarikatan Muhammadiyah, tentu tak cukup dengan membaca satu literasi saja. Sejarahnya yang panjang serta dinamika organisasi yang kompleks membuat Muhammadiyah begitu menarik dilihat dari berbagai sisi. Sejak didirikan pada 18 November 1912 hingga sekarang, Muhammadiyah mampu bertahan di tengah gejolak sosial politik bangsa Indonesia.
Keuletan Ahmad Dahlan dalam mencetuskan nilai-nilai dasar Muhammadiyah mampu dipertahankan oleh kader-kader Muhammadiyah hingga saat ini. Meskipun begitu, banyak cerita-cerita unik tentang Muhammadiyah yang bagi sebagian orang dianggap tabu sehingga tak banyak orang yang mengetahui akan cerita tersebut. Tak jarang pula Muhammadiyah menjadi korban fitnah-fitnah keji. Berikut hal-hal yang jarang diketahui orang tentang Muhammadiyah :
- Istri Ahmad Dahlan
Pada umumnya masyarakat mengetahui bahwa istri Ahmad Dahlan ialah Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Anggapan tersebut tidaklah salah karena hampir seluruh literasi menyebut pendiri Aisyiah tersebut merupakan istri Ahmad Dahlan. Dahlan muda menikah ketika Siti Walidah berusia 17 tahun. Beliau merupakan putri dari Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu Kraton Yogyakarta.
Pasca mendirikan Muhammadiyah, Dahlan berpoligami atau menikah lagi dengan tiga perempuan. Istri keduanya adalah Ray Soetidjah Windyaningrum, seorang janda muda yang diberikan oleh Kraton kepada Dahlan. Sebagai abdi dalem, tentu Dahlan tidak dapat menolak pemberian Sultan. Disisi lain pemberian ini merupakan bentuk kepercayaan Kraton kepada Dahlan dalam mensyiarkan agama Islam melalui gerakan Muhammadiyah.
Istri ketiganya ialah Nyai Rum, adik dari salah seorang Kiai NU di Krapyak. Kiai NU tersebut meminta Dahlan untuk menikahi adiknya agar ada sinergitas gerakan antara NU dan Muhammadiyah. Namun tak lama kemudian mereka bercerai tanpa sempat meninggalkan keturunan. Istri terakhir Dahlan ialah Aisyah, putri seorang bangsawan di Cianjur. Bangsawan tersebut menginginkan adanya keturunan Dahlan di Cianjur agar dapat mewarisi kecerdasan Dahlan yang begitu hebat.
Poligami memang masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Siti Walidah selaku istri tertua tidak pernah melarang suaminya untuk berpoligami. Begitu pula Dahlan, ia tidak menjadikan istri-istrinya serumah agar tidak menyakiti perasaan Siti Walidah. Dahlan rela berpoligami untuk tujuan berdakwah dan ridho Allah semata. Sungguh indah romantisme kehidupan yang didasarkan pada agama.
Lantas bagaimana poligami menurut Muhammadiyah?
Dalam Himpunan Putusan Tarjih dijelaskan bahwa pada prinsipnya pernikahan di dalam Islam merupakan monogami. Dan apabila memungkinkan poligami, maka harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan. Sehingga poligami ini bukanlah sunnah dan anjuran Rasul. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka jarang ditemui tokoh-tokoh Muhammadiyah yang memiliki istri lebih dari satu.
- Ahmadiyah
Gagasan Ahmadiyah pernah mewarnai dinamika gerakan Muhammadiyah pada masa 1920-an. Ahmadiyah diterima sebagai gerakan dakwah karena pada saat itu pimpinan Muhammadiyah merasa Ahmadiyah memiliki kesamaan tujuan; yakni memurnikan iman dan memodernisasi Islam. Bahkan, salah satu tokoh Ahmadiyah menjadi rujukan untuk belajar agama di Kauman.
Hubungan yang harmonis ini retak ketika Haji Rasul datang ke Yogyakarta. Ia menolak kehadiran Ahmadiyah di internal Muhammadiyah. Kondisi ini semakin parah sehingga diadakanlah pertemuan untuk menentukan para anggota Muhammadiyah tetap bergabung atau keluar dan menjadi Ahmadiyah. Beberapa anggota Muhammadiyah memilih keluar dan mengembangkan gagasan Ahmadiyah. Salah satunya adalah Djojosugito, sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah yang mana pada akhirnya ia mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia dan menjadi pionir awal penyebaran Ahnmadiyah di Indonesia.
Sampai sekarang, Muhammadiyah belum berfatwa bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Hal ini didasari oleh terbitnya fatwa oleh MUI dan Liga Muslim Dunia yang dirasa sudah cukup kuat menjadi legitimasi bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Meskipun begitu, Muhammadiyah tidak sepakat adanya penyerbuan terhadap umat Ahmadiyah dan segala bentuk diskrimnasi kepadanya.
- Hukum Tato
Tak banyak orang yang tahu bahwa Muhammadiyah lewat Majelis Tarjihnya pernah mengeluarkan fatwa bahwa hukum bertato adalah mubah. Fatwa ini keluar pada tahun 2000 dan sempat menimbulkan kontroversi karena pengertian mubah masih memungkinkan untuk diperbolehkan.
Sadar akan polemik tersebut Majelis Tarjih kemudian merevisi fatwa tersebut dan memperbaiki hukum bertato menjadi haram dengan berbagai catatan sebagaimana yang tertulis dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 7. Apabila akibat dari tato itu negatif, dengan arti dapat merusak iman, merusak akhlak dan sebagainya, maka hukumnya menjadi makruh atau haram.
Oleh : Immawan Ahmad Ashim Muttaqin