preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Indonesia Dalam Ancaman Krisis Pangan

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu – Sepenggal lirik lagu Kolam Susu ciptaan Koes Plus, salah satu band legendaris dari Indonesia.

Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang berdiri gagah dari Sabang sampai Merauke. Tidak jarang abu vulkanik dimuntahkan dari isi perutnya. Namun, abu tersebut memiliki karunia tersendiri, yaitu menyuburkan tanah yang ada di sekitarnya.

Sebutlah Ranu Pane, berada di lereng Gunung Semeru, desa penghasil kentang, bawang, dan hasil perkebunan lainnya yang menjadi kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat di lingkup Malang Raya dan sekitarnya. Dengan kondisi tanah yang begitu subur, tentu seharusnya beras sebagai makanan pokok bukan menjadi kendala pangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menjelaskan Indonesia mengimpor beras dari Thailand sebanyak 2,25 juta ton sepanjang tahun, menjadi yang tertinggi dibanding sebelumnya. Jika kita tidak buta sejarah, maka seharusnya kita tahu bahwa di abad 15-16, negara Barat datang berebut hingga saling membunuh demi bisa memonopoli kekayaan alam Indonesia. Namun, hari ini justru kita berikan hasil alam dengan cuma-cuma.

Di tengah situasi Pandemi Covid-19, kondisi ketahanan pangan Indonesia semakin memburuk. Salah satu penyebabnya adalah semakin habis lahan pertanian yang menghasilkan kebutuhan dasar pangan. Beras menjadi makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Papua dan Maluku yang sebelumnya lebih menjadikan sagu sebagai kebutuhan pangan. Masyarakat NTT yang lebih banyak mengonsumsi jagung dan umbi-umbian, juga dipaksa untuk menjadikan beras sebagai makanan pokok.

Di Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, masyarakat adat Ciptagelar yang pangannya bergantung dari lahan pertanian, memiliki 8.000 lumbung padi yang mampu menjamin ketersediaan pangan hingga tiga tahun bagi 30.000 jiwa. Aturan adat disana hanya mengizinkan masyarakat untuk menanam dan memanen satu kali dalam satu tahun dan tidak menggunakan alat pertanian modern seperti traktor.

Secara umum di Indonesia, Bulog memiliki 600 gudang beras yang hanya mampu menjamin ketersediaan pangan selama 8-12 bulan. Padahal, dalam setahun Indonesia diharuskan menanam dan memanen dua kali dalam satu tahun dengan mekanisme pertanian modern dan menggunakan bahan pupuk kimiawi.

Berulang kali, pemerintah Indonesia dari masa Soeharto hingga Jokowi, selalu menyatakan bahwa Indonesia berhasil swasembada pangan. Namun, setiap itu pula Indonesia selalu dihantui oleh krisis pangan yang bahkan sudah terjadi sebelum masa pandemi berlangsung. Dewasa ini, problem mendasar dari munculnya krisis pangan ialah pengalihan fungsi lahan pertanian.

Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2019, meyampaikan bahwa luas lahan sawah hanya 7,10 juta Ha. Padahal, jika digabungkan seluruh daratan Indonesia luasnya mencapai 180 juta Ha. Faktanya, lahan sawah tak lebih dari 5%.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap waktu pemerintah selalu menggusur lahan pertanian yang merupakan sumber pangan diubah menjadi jalan tol, pabrik, lahan sawit, komplek perumahan, bandara, dan tambang. Atas nama modernisasi dan kemajuan peradaban, penggusuran dihalalkan dan kebutuhan pangan dipikir belakangan.

Berulangkali Walhi mengkritik kebijakan pembukaan lahan pertanian seperti yang terjadi di Merauke, Papua, pada 2015 Pemerintah meluncurkan program sawah satu juta Ha, yang kemudian disebut Merauke Integrated Food and Energi Estated (MIFEE). Sebelumnya, sawah pertama dicetak oleh Belanda pada tahun 1954, dengan luas 96 Ha, dan membutuhkan waktu 60 tahun untuk mencetak lahan pertanian sawah seluas 43.000 Ha di Merauke.

Pernyataan Jokowi pada tahun 2015 mengatakan ‘dalam tiga tahun akan disiapkan 1,2 juta Ha lahan pertanian di Merauke’, di mana hal tersebut bertentangan dengan fakta di lapangan. Respon dari Dinas Pertanian Merauke mengatakan bahwa hal tersebut tidak masuk akal karena harapan pengairan hanya melalui hujan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa di Merauke sisa lahan hanya seluas 500 ribu Ha.

Kini, hasilnya tak terlihat. Dan solusi instan yang kemungkinan akan dilakukan oleh pemerintah tentu lagi-lagi impor beras.

Solusi alternatif harus diambil secara cepat dan bijak oleh pemerintah, sebutlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki lahan perkebunan sawit luas di Indonesia. Jika saja lahan tersebut dialihkan fungsinya sebagai lahan pertanian, tentu dalam tiga bulan ke depan krisis pangan bisa cukup diatasi.

Ditambah lagi sebanyak 1,5 juta buruh di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Hal tersebut meningkatan jumlah pengangguran dan melahirkan masalah kriminalitas yang semakin meresahkan. Jika saja 1,5 juta buruh tersebut diberi pelatihan bertani dan berkebun dengan lahan yang disediakan oleh pemerintah tentu akan menjadi lebih efektif karena menyelesaikan dua persoalan sekaligus.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang bagi penulis hanya menguntungkan Oligarki, tidak menjawab persoalan krisis pangan. Begitu pula dengan kartu pra-kerja. Seluruh unsur masyarakat seharusnya dididik untuk bertani dan berkebun sejak dini. Mayoritas masyarakat yang mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA jarang sekali diberi ilmu tentang bertani. Padahal ilmu bercocok tanam merupakan faktor dasar kehidupan sejak zaman dahulu.

Setiap waktu, kaum tani selalu menjerit dan memprotes kebijakan liberalisasi pertanian. Sejak era Soeharto, Indonesia selalu didikte oleh International Monetary Fund (IMF) untuk menghapuskan semua instrumen pendukung pertanian. Dalam perdagangan Internasional Indonesia mengikat perjanjian dengan World Trade Organization (WTO) melalui Agreement on Agriculture (AoA) yang artinya membuka pasar domestik untuk pangan impor.

Pada dasarnya justru perjanjian tersebut menyudutkan Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya untuk bergantung pada impor pangan. Atas perjanjian tersebut, Indonesia mau tidak mau harus meliberalisasi sektor pertanian yang merugikan dan mencekik para petani. Tak heran jika muncul protes keras dari kaum tani.

Kondisi kaum tani tidak jauh dari kemiskinan, kelaparan dan kekurang pangan. Maka, tidak menutup kemungkinan kaum tani protes dengan cara membakar gabah atau ladangnya karena sudah tak sanggup menanggung derita yang mereka alami. (din)

 

Oleh: Immawan Arif Gustian Bedda

Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *