preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

RKUHP Segera disahkan: Demokrasi di Indonesia ingin diakhiri Jokowi

RKUHP Segera disahkan: Demokrasi di Indonesia ingin diakhiri Jokowi

https://bakumsu.or.id/

sumber:https://bakumsu.or.id/

 

KUHP merupakan kepanjangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjadi dasar hukum pidana atau disebut sebagai hukum formil yang mengatur kepentingan umum. Dalam pembentukan hukum pidana pun perlu melewati tahap-tahap tertentu. Salah satunya memperhatikan asas hukum yang ada dalam naskah akademik Rancangan Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Asas hukum yang harus diperhatikan

  1.   Asas legalitas, yang merupakan asas yang menentukan bahwa tindak pidana harusnya diatur terlebih dahulu dalam undang-undang atau suatu hukum sebelum seseorang melakukan pelanggaran. Sederhananya tidak adanya perbuatan yang melanggar hukum jika itu tidak diatur terlebih dahulu dalam suatu peraturan.
  2. Asas teritorial yang berarti asas hukum pidana ini harus dilandasi oleh kedaulatan negara. Negara memiliki kewajiban untuk menertibkan hukum di wilayahnya yang melakukan pelanggaran hukum.
  3.   Asas Nasional Aktif atau Asas Personalitas, asas ini bermaksud menjelaskan peraturan tersebut berlaku bagi semua warga negara tanpa mempermasalahkan lokasi keberadaannya sekalipun di luar negeri.
  4. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan yaitu perundang-undangan ini berlaku pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh warga negaranya di luar negeri dengan tidak mempersoalkan kewarganegaraannya, baik itu warga negara atau orang asing.
  5.   Asas Persamaan atau Asas Universal, yang berarti menitikberatkan pada kepentingan umum secara internasional yang tidak ada batasan dan berlaku dimanapun dan bagi siapapun.

Pemerintah baru saja menyerahkan draft RUU KUHP kepada DPR setelah menuai banyak kritikan dari pasal-pasal yang kontroversial. Alhasil pemerintah melakukan siasat dengan cara membuka dialog publik untuk menampung segala aspirasi dari masyarakat sebelum diberikan kepada DPR.

Pemerintah pun mensosialisasikan pasal-pasal yang menuai kontroversial ke berbagai daerah diantaranya dimulai dari Medan hingga ke Sorong. Menkumham beranggapan bahwa pasal-pasal tersebut sudah di diskusikan dengan publik dan juga tidak mungkin akan memuaskan semua pihak. Menurut Menkumham juga, itu menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjelaskan ke publik atas tafsir-tafsir yang berbeda.

Pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu salah satunya pasal soal penghinaan presiden dan wakil presiden yang termuat dalam pasal 218 ayat (1). “Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Serta pasal yang mengatur soal penghinaan lembaga negara pada pasal 240, “Setiap orang di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.  

Dari pasal ini pun, tergambarkan bahwa rezim pemerintahan Jokowi ingin membungkam kritikan dari masyarakat. Baik itu melalui kritikan ataupun gambaran ketidakpuasan dari rakyat terhadap kinerja pemerintah. Melihat asas hukum yang ada dalam pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Terkhusus asas yang pertama pemerintah ingin membuat aturan baru yang menjadikan tameng bagi pemerintah agar duduk di posisi nyaman tanpa ada kritik dari rakyat.

Pasal penghinaan terhadap presiden ini bisa dikatakan cukup ‘aneh’ karena presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang dimana rakyat juga mempunyai aspirasi terhadap perwakilannya namun rakyat tidak boleh mengkritik keduanya.

Padahal kritikan tersebut merupakan bagian aspirasi itu sendiri. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa rezim Jokowi secara tidak langsung ingin membuat ‘kultur’ baru di Indonesia kalau presiden dan wakil presiden serta lembaga negara dibawahnya tidak boleh di kritik melalui media apapun. Baik itu secara lisan maupun secara visual.

Akibatnya pun, Indonesia tidak lagi menuju demokratisasi melainkan menuju negara otoriter jika aturan ini diberlakukan. Walaupun sudah membuka dialog publik namun masih saja ada pasal kontroversial yang termuat dalam RUU KUHP. Sehingga hal ini menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah.

Apakah rezim ini ingin mengakhiri demokrasi di Indonesia dan menjadikan Indonesia rezim otoriter lagi? Atau ini rancangan undang-undang ini merupakan kepentingan “golongan tertentu” agar mencapai kepentingan yang lebih besar?

Bukan hanya pasal penghinaan saja yang menjadi problem demokrasi dalam draft RUU KUHP ini, melainkan ada pasal ancaman hukuman mati yang diatur dalam pasal 67, 98, 99, 100, 101 dan 102. Dengan adanya pasal ini bagi para penggiat HAM justru menganggap jika potensi pelanggaran HAM tersebut sangatlah tinggi.

Karena sering terjadi kesalahaan hukuman mati pada orang-orang yang seharusnya tidak bersalah. Pasal ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar pasal 28A yaitu hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Ada pula pasal Demonstrasi yang diatur dan dinilai kontroversial. Pasal ini bertentangan dengan apa yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menjamin adanya kebebasan berkumpul, berserikat, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya. Sedangkan dalam draft RUU KUHP harus ada pemberitahuan ketika ingin melakukan demonstrasi.

Dalam pandangan demokrasi pun seharusnya pemerintahan tertinggi berada di tangan rakyat. Meletakkan tiap aturan yang dibuat pada aspirasi rakyat dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, pasal ini kontradiksi dengan sistem demokrasi itu sendiri.

Dengan adanya pasal-pasal yang cukup kontroversial ini semuanya bisa kena dan dipidanakan. Maka dengan ini sebagai mahasiswa dan pemuda perlu sadar akan realitas politik yang ada sekarang. Jika kita buta politik maka hidup kita akan dirampas oleh rezim yang tidak bertanggung jawab. Atas kesadaran tersebutlah perlu ada hal konkrit yang dilakukan untuk merubah suatu keadaan.

Atallah Daffa Jawahir

Kader IMM Renaissance FISIP UMM

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *