Arza bocah kecil berumur 9 tahun berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Dengan masih menggunakan seragam putih yang seirama dengan celana merah selututnya. Tas selempang sekolahnya bergoyang-goyang mengikuti kecepatan langkah kaki kecilnya. Wajahnya kotor penuh debu, rambut hitam cepaknya sedikit menyala merah karena hawa panas musim itu. Dia terlihat tergesa-gesa karena sudah 2 kali kulihat dia menabrak bapak-bapak yang berjalan berlawanan arah dengannya sehingga dia mendapatkan umpatan-umpatan yang tidak dia hiraukan. Dengan tersenggal-senggal dia masih terus berlari. Hampir saja tubuh kecilnya terjatuh karena tersandung batu kalau saja dia tidak sigap menyeimbangkan badannya.
Sampai di depan rumah yang berdinding batu bata merah tanpa warna cat. Satu jendela kecil di samping kanan atas pintu bercat hijau yang warnanya sudah memudar. Arza berhenti sejenak sambil memegangi lutut kurusnya dan mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal. Setelah dirasa udara yang masuk kedalam paru-parunya cukup, dia membuka pintunya cepat-cepat tanpa mengucap salam seperti yang biasa dilakukan anak-anak seusianya ketika mau masuk dan keluar rumah tetapi justru berteriak kencang. Memanggil mamaknya. Kakinya yang kurus berlari-lari kecil menyusuri setiap jengkal rumahnya. Beberapa detik kemudian dia menemukan mamaknya sedang memasak di dapur yang berukuran sempit dan sangat panas. Dengan suara tersendat-sendat dia menyampaikan pesan dari gurunya di sekolah siang tadi ketika bel pulang berbunyi.
Dengan wajah penuh arang hitam mamak Arza menghampirinya sambil sedikit menghapus noda di wajahnya. Mamak Arza mendengus pelan. Sedikit sebal menghadapi anak semata wayangnya itu dan lihatlah wajah Arza. Datar tanpa sedikitpun rasa bersalah.
“Arza! masuk rumah enggak mengucapkan salam, malah lari-lari sambil berteriak! ada apa!?” Tanya mamak sambil menatap galak mata Arza lurus-lurus.
“Maafkan Arza mak”. Menyadari kesalahannya Arza reflek menundukkan kepalanya. Terbata-bata meminta maaf takut sekali mamak akan memukul punggungnya dengan alat pengaduk kuah yang sekarang dipegangnya, Arza merasa lega karena mamak akhirnya tersenyum kecil, memaafkan.
Sedikit saja kita bahas tentang mamak Arza. Beliau wanita berhati lembut yang masih terlihat bekas kecantikannya meskipun kadang terlihat menyeramkan bagi Arza jika mamaknya mulai marah. Tapi info yang perlu kalian tau kalau mamak Arza di usia mudanya menurut desas desus yang beredar di desa kami. Konon hampir semua lelaki di desa pernah mencoba mendekati wanita itu untuk dipinang menjadi istri mereka. Mulai dari perjaga sampai duda beranak 5. Tentu tak heran saat kau melihat wajah Arza yang tampan seusianya karena mewarisi paras mamaknya. Tapi mengenai kebenaran cerita itu bisa kita bahas nanti bukan?
Akhirnya setelah beberapa detik mamak berhenti dari “memarahinya”. Arza pun memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya menatap mata mamak yang mulai melembut. Dua detik setelahnya Arza sudah cengengesan menunjukkan giginya yang rapi dan putih sebab meskipun kelihatan di permukaan keadaan ekonominya susah dia tetap rajin gosok gigi dan mamak tak pernah melarangnya karena sering menghabiskan pasta gigi. Mamak geleng-geleng melihatnya. Setelah puas cengengesan dia teringat tujuannya tergesa-gesa pulang dari sekolah.
“Mak, kata pak Hajir besok pagi akan ada truk-truk datang. Jadi mamak harus bersiap-siap segera”. Sepersekian detik terlihat sekali kerutan kaget di dahi mamak dan dengan cepat merubah ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang. Mamak tidak menanggapi sedikitpun pesan dari pak guru hajir. Mamak hanya tersenyum. Lantas kembali sibuk dengan pekerjaannya mengaduk santan di kuali. Arza semakin dibuat bingung dengan tingkah laku mamaknya dan segera saja dia menghampiri mamaknya di samping tempat kuali yang sekarang diaduk mamak. Di dalam kuali itu terlihat asap panas mengepul tinggi dari santan membuat suhu di ruangan sempit tersebut menjadi semakin panas dan sekaligus membuat isi perut Arza berbunyi, lapar.
Mamak menghentikan aktivitas mengaduknya lalu beralih menatap wajah Arza yang masih kebingungan. “Daripada kamu gak ada kerjaan le. Lebih baik kamu ganti baju seragammu. Lalu bantu mamak meniup kayu pawon itu’’. Arza gelagapan karena tiba-tiba mamaknya berhenti mengaduk santan dan memasang raut muka serius di depan muka Arza. Sekali lagi Arza takut dengan alat pengaduk kuah yang dipegang mamaknya.
Tanpa disuruh dua kali. Segera saja dengan sigap Arza masuk kekamar dan mengganti baju seragamnya yang sudah lusuh. Beberapa detik Arza memandang bajunya tersebut, ada perasaan sedih menyelimuti hatinya. Baju itu adalah baju bekas kepunyaan tetangganya yang dengan baik hati memberikannya kepada Arza 3 tahun silam. Baju itu sekarang sudah robek di bagian leher dan lengannya, mamak Arza hanya menjahit dengan menambal bagian-bagian yang robek itu. Sebenarnya dia ingin sekali bilang ke mamaknya agar segera dibelikan baju. Akan tetapi dia tidak tega melihat mamaknya yang selalu terlihat kelelahan. Ia pun mengurungkan niatnya. Dia akan bersabar, janjinya dalam hati.
———————–
Pagi itu langit begitu cerah dengan kedermawanan matahari yang sudi memunculkan wajahnya di kota bumi kelahiranku. Sehingga udara terasa hangat dan menyinari sepanjang jalan yang masih tersisa genangan air setelah sejak tadi malam hujan mengguyur deras selama beberapa jam dengan petir yang menyambar-nyambar, yang menurut keyakinan orang hindu jika dewa indra sedang murka. Entahlah aku-pun tak seberapa faham soal itu. Lupakanlah sejenak cerita tentang dewa indra yang murka. Lihatlah. Pagi ini tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Biasanya warga di sini tak begitu antusias menatap indahnya sang surya karena pasti akan kembali berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan yang membosankan. Akan tetapi pagi ini berbeda. Banyak orang berlalu lalang di jalan sejak pagi buta tadi selepas sholat shubuh.
Pukul 06.30 Arza masih tertidur pulas selepas pulang dari Surau tadi. Dan memang dibebaskan mamak karena itu hari minggu, Arza libur sekolah.
Meninggalkan Arza yang masih tertidur. Mamak disuruh menghadiri suatu pertemuan dadakan bersama seluruh kepala keluarga dan orang dewasa lainnya di desa kami. Orang-orang berkumpul di salah satu rumah warga sebelah Surau. Pertemuan itu dihadiri oleh kepala desa setempat tak terkecuali ada pak guru Hajir juga turut disana. Dari tampang-tampang mereka yang serius sekalipun pagi itu seharusnya enak untuk bermanja dengan kasur dan bantal. Jelas sudah mereka sedang mendiskusikan masalah yang amat sangatlah penting.
“Kita harus berbaris di sepanjang jalan. Kita tidak bisa membiarkan orag-orang serakah itu menggusur rumah kita” suara menggelegar salah seorang warga berperawakan tinggi hitam yang disambut dengan tepuk tangan dari seluruh warga yang berkumpul. “BETUL..”
“Mereka tak bisa seenaknya mengusir kita dari tanah nenek moyang kita, nenek moyang kita sudah tinggal disini sejak ratusan tahun yang lalu” lanjutnya.
“BETUL.. kita harus melawan” ucap salah satu Ibu-Ibu berusia 40 tahunan.
“Sepakat.. LAWAN LAWAN LAWAN!!” suara warga yang berkumpul itu bergemuruh memecahkan keheningan pagi itu.
“Tenang saudara-saudara. Kita tidak akan menggunakan kekerasan dalam aksi ini sebelum Negosiasi terakhir benar-benar ditolak. Nanti saya, pak guru Hajir beserta beberapa warga yang lain akan menemui Bos mereka” Kata pak kepala desa yang berusaha mengambil jalan terbaik.
“Kita tidak bisa hanya tinggal diam saja! Bagaimana kalau mereka langsung merobohkan rumah kita? kita harus melawan saat pertama kali mereka menginjakkan kakinya di desa ini, BETUL TEMAN-TEMAN!!” sekali lagi laki-laki bertubuh tinggi hitam itu berteriak semangat.
“BETUULL”.
“Benar kata pak kepala desa, kita harus bersabar terlebih dahulu. Semua akan baik-baik saja” Ucap pak Hajir menenangkan. Setelah pertemuan “dadakan” itu selesai, semua langsung membubarkan diri, bersiap dengan apa yang nanti akan terjadi.
Tepat pukul 12.00 saat matahari tepat berada di tengah-tengah. Terdengar suara mesin besar mendekat. Ada 5 truk memasuki desa kami dan 1 alat besar penghancur bangunan. Arza dan teman-temannya yang sedang asyik bermain sepak bola di lapangan belakang sekolahnya. Demi melihat suara berdesing dari mesin-mesin itu Arza dan teman-temannya segera berhenti bermain dan berlari mencari asal suara tersebut. Maklumlah di desa Arza mesin-mesin besar itu sangat langka ditemukan.
Di sepanjang jalan terlihat hampir semua warga baik laki-laki maupun perempuan di desa kami berbaris membentuk diri seperti benteng. Mencegah sekaligus mengancam agar alat-alat itu tak berani masuk. Di sebelah mesin raksasa itu ada beberapa orang memakai jas Hitam, bersepatu Pantopel dan memakai kaca mata hitam sedang berdiskusi dengan kepala desa, pak Hajir dan beberapa warga lainnya. Selang beberapa menit yang menegangkan. Pak kepala desa dan warga lainnya yang sedang melakukan Negosiasi menyampaikan hasil negosiasi. Mereka kalah. Mereka harus rela digusur dan diberi waktu sampai tengah malam untuk memindahkan barang-barang mereka.
Sudah bisa diduga reaksi warga. Mereka mengamuk. Mengambil apa saja yang ada di depannya lantas mereka lemparkan ke alat-alat penghancur raksasa itu. Anak-anak kecil berlari ketakutan masuk ke dalam rumah. Mengintip kejadian itu lewat jendela kecil mereka. Situasi sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Beberapa saat kemudian datang 3 mobil membawa orang-orang berseragam dan bersenjata. Mereka ditugaskan untuk mengamankan proses penggusuran tersebut, apapun yang terjadi!
Para warga berteriak sampai suaranya serak. Yang lainnya ikut berteriak memberi dukungan. Tiba-tiba langkah kaki Arza terhenti. Lihatlah di sana. Tepat di depan Mesin raksasa itu. Mamaknya. Mamak yang selama ini dia sayangi berdiri kokoh tanpa rasa takut sedikitpun. Mamaknya menangis sesenggukan sambil berteriak marah karena semangat. Lihatlah mamaknya dia benar-benar seperti mutiara di lautan, indah dan kokoh. Semangatnya membakar semangat warga yang lainnya. Para petugas keamanan itu segera meringkus siapa saja yang menghalangi jalan alat-alat raksasa itu. Tepat sebelum mamak Arza sempat menyelamatkan diri. Pentungan itu tepat mengenai kepala mamak. Keras. Membuatnya jatuh berdebum. Pingsan. Arza yang melihat kejadian itu langsung berteriak kalap berlari menuju mamaknya yang jatuh pingsan.
Para warga yang masih bertahan tetap membentuk formasi benteng. Akan tetapi apa mau dikata. Mesin besar itu terus maju tanpa sedikitpun ragu untuk mundur sekalipun di depannya ada banyak orang yang mungkin bisa saja terlindas mesin penghancur itu. Dengan sekali ayunan rumah berdinding batu bata merah tanpa cat itu jatuh berdebam hancur lebur. Begitu pula dengan rumah-rumah di sampingnya. Luluh lantak tak tersisa. Barang-barang yang belum sempat diselamatkan juga ikut hancur di dalamnya.
Sore itu. Dengan disaksikan bangunan-bangunan yang sudah hancur lebur menjadi tanah dan debu-debu yang terlihat seperti kabut tebal di pagi buta. Sore itu, untuk pertama kalinya. Arza, anak kecil yang selalu ceria dan tulus hatinya mewarisi hati ibunya itu meneteskan air mata. Pilu melihat bocah berusia 9 tahun itu menundukkan kepalanya menangis tanpa suara tak sanggup melihat rumah yang sudah 9 tahun ia tinggali bersama ibunya hancur tak tersisa tanpa sedikitpun tau alasannya. Arza menangis memeluk mamaknya yang jatuh pingsan. Dia sudah tidak peduli lagi dengan suara histeris orang-orang di sekitarnya. Suara umpatan, sumpah serapah sampai tangisan yang melengking-lengking, Arza sudah tidak peduli. Apalah yang bisa dia dilakukan sekarang? Semua sudah hancur tak tersisa meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam, meninggalkan luka besar yang tak terlihat namun sulit disembuhkan.
———————————————-
13 tahun berselang setelah kejadian penggusuran tanah itu. Lihatlah sekarang anak kecil yang dulu dielu-elukan karena memiliki paras tampan mewarisi paras ibunya. Anak kecil yang dulu hanya sanggup menatap bangunan rumahnya luluh lantak menjadi debu. Anak kecil yang dulu memeluk ibunya sambil menangis penuh kesedihan. Arza berjanji kepada dirinya dan berjanji kepada mamaknya untuk tetap berjalan kearah kebenaran. Dia akan melindungi orang-orang yang dilemahkan. Dia berjanji akan berada di garis terdepan melawan kesewenang-wenangan. Itu akan menjadi janji setianya. Lihatlah sekarang. Dia berdiri kokoh di atas podium. Berteriak membakar semangat massa untuk menyerukan kebenaran. Melawan penindasan. Menghancurkan kedzoliman.
Setelah penggusuran 13 tahun silam. Arza beruntung langsung ditemukan oleh keluarga jauh ayahnya dan segera dirawat bersama Ibunya yang pingsan selama 1 hari di rumah sakit. Setelah dinyatakan sembuh, mamak Arza memulai usaha baru menjual roti dengan pinjaman modal dari saudara jauh ayahnya. Mamak Arza bekerja keras karena selain untuk biaya kehidupannya dengan Arza juga agar tidak merepotkan orang lain. Tampaknya sekali lagi hal ini juga diturunkan kepada anak semata wayangnya. Dengan kerja keras dan semangat belajar Arza yang tinggi dia akhirnya mendapatkan Beasiswa SMA dan juga beasiswa kuliah di perguruan tinggi negeri di Ibu kota dengan mengambil Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Siang itu, saat matahari kembali berada di puncaknya menyengat ubun-ubun kepala. Siang itu, dengan disaksikan burung-burung yang beterbangan indah di angkasa membentuk formasi tempur yang menakjubkan. Di depan ratusan orang yang membanjiri jalan raya di depan salah satu gedung pemerintahan di ibu kota. Arza berdiri bersama kawan-kawannya sesama mahasiswa. Melakukan aksi turun jalan untuk menuntut kesamaan hak bagi semua lapisan masyarakan baik orang kaya maupun orang miskin di mata hukum. Karena 1 minggu yang lalu kejadian 13 tahun silam terulang kembali, orang-orang serakah itu menggusur tanah orang-orang miskin tanpa alasan yang jelas untuk mendirikan bangunan-bangunan pencakar langit. Dan pemerintah tidak terlalu menanggapi hal tersebut secara serius, karena menurut koran radikal yang berani menentang pemerintah mengatakan bahwa pemerintah, hakim-hakim dan yang katanya para “penegak” kebenaran mulutnya telah dibungkam oleh para pembelinya.
Pengarang adalah Kader IMM Renaissance angkatan DAD tahun 2016. Pada periode 2018-2019 ia pernah diamanahkan sebagai Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan. Perempuan yang memiliki nama panjang Widiatus Solikah ini sangat gemar membaca buku terkait sosial masyarakat dan politik.