preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Perempuan di Balik Perjuangan Pendidikan Indonesia

Ki Hadjar Dewantara menjadi sosok yang pasti diingat ketika berbicara mengenai pendidikan Indonesia. Pendidikan di Indonesia memiliki keistimewaan hingga dijadikan momentum peringatan bernama Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Sekilas mengenai sejarah Hardiknas, Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh yang berhasil mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Sebuah sekolah formal pertama tempat belajar kaum pribumi karena semasa pemerintahan Belanda di Indonesia, hanya pribumi dari golongan menengah ke atas yang dapat mengenyam pendidikan.

Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi pribumi ketika saat itu dijajah oleh Belanda agar tidak semakin terperdaya oleh penjajah. Perguruan Taman Siswa merupakan sekolah nasional pertama yang didirikan oleh pribumi untuk pribumi. Tidak hanya untuk kalangan menengah ke atas tetapi, mencakup semua kalangan pribumi. Atas jasa Ki Hadjar Dewantara dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa tersebut, beliau dianugerahi sebagai pahlawan Indonesia dan tokoh pendidikan Indonesia yang tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hardiknas, yaitu  2 Mei.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bapak Pendidikan Indonesia, kiranya kita bisa kembali pada masa lalu menilik sejarah mengenai pendidikan Indonesia yaitu perjuangan perempuan dalam berpartisipasi memajukan pendidikan. Katakanlah Kartini, yang perjuangannya juga diabadikan dalam momen Hari Kartini pada 21 April lalu, karena memperjuangkan pendidikan kaum pribumi secara umum dan pendidikan kaum perempuan secara khusus. Kartini hidup di zaman kolonial layaknya Ki Hadjar Dewantara. Ia merupakan perempuan bangsawan anak bupati Jepara yang diizinkan mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar Eropa sampai umur 12 tahun sebelum akhirnya dipingit dan tidak diizinkan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.

Beliau merasa kondisi pribumi tidak akan mengalami kemajuan jika terus-menerus berada pada belenggu Belanda dan tak terdidik. Perhatiannya terkhusus pada kondisi perempuan pribumi yang terbatas dalam mengakses pendidikan, terkekang oleh sistem adat seperti pingitan dan budaya patriarki. Sayangnya, hidup Kartini hanya sampai pada usia 25 tahun, yang menyebabkan tidak bisa mewujudkan mimpinya secara maksimal.

Pendidikan yang beliau perjuangkan sempat sampai pada tahap mendirikan sekolah non-formal di belakang rumahnya untuk anak-anak dan para gadis. Kartini memang tidak seperti pahlawan perempuan lain yang sudah dapat mendirikan sekolah formal, seperti Dewi Sartika. Namun, Kartini mampu memberikan pengaruh kepada pejabat-pejabat Belanda yang berkawan baik dengan beliau. Sepeninggalnya, kawan-kawan pejabat Belanda tersebut mendirikan Yayasan atas nama Kartini dan memberikan beasiswa untuk gadis-gadis pribumi.

Selain Kartini, Dewi Sartika juga merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan pendidikan perempuan. Dewi Sartika adalah perempuan bangsawan berasal dari Bandung, Jawa Barat yang sejak kecil hidup di lingkungan terdidik dan sempat mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Terjun ke dalam dunia pendidikan menjadi cita-citanya sedari kecil. Beliau berhasil mendirikan sekolah formal perempuan pertama bernama Sakola Istri pada 1904, yang tidak hanya memberikan pengetahuan umum tetapi juga keterampilan. Kurikulum pengetahuan umum mengikuti kurikulum sekolah Belanda dengan bahasa Belanda sebagai kurikulum wajib, sedangkan muatan keterampilan seperti membatik, menjahit, memasak, dan lainnya.

Selanjutnya, terdapat Nyai Walidah, istri pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Beliau pahlawan perempuan Indonesia yang memperjuangkan pendidikan perempuan di Yogyakarta, terkhusus pendidikan dalam agama Islam. Berbeda dengan Kartini dan Dewi Sartika yang sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah Belanda, Nyai Walidah justru hanya mendapat pendidikan dari orang tuanya dan pengetahuannya semakin luas ketika beliau menikah dengan K.H. Ahmad Dahlan.

Sepasang suami-istri tersebut mendirikan perkumpulan pengajian bernama Sapa Tresna berarti siapa yang cinta. Pengajian Sapa Tresna tidak hanya mengkaji agama saja, tetapi juga menekankan pentingnya pendidikan perempuan. Pengajian juga rutin membahas isu-isu perempuan yang sedang berkembang sekaligus mengedukasi perempuan agar dapat berkontribusi untuk masyarakat dan bangsa.

Masih banyak pahlawan perempuan Indonesia yang bersikukuh memperjuangkan pendidikan. Ketiga pahlawan di atas berasal dari Jawa, sedangkan di luar Jawa terdapat Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara, Hajjah Rangkayo Rasuna Said dan Roehana Koeddoes dari Sumatera Barat. Tentu masih banyak tokoh perempuan yang memiliki andil dalam pendidikan Indonesia sehingga tidak dapat disebutkan satu persatu.

Perjuangan pendidikan oleh pahlawan perempuan seyogyanya harus terus diupayakan karena kondisi perempuan bangsa belum seluruhnya maju. Di beberapa daerah, perempuannya progresif, berpendidikan tinggi, memiliki karya yang luar biasa tanpa adanya diskriminasi patriarki dan adat yang melemahkan perempuan. Tetapi di sisi lain, kita perlu memperhatikan daerah-daerah yang syarat adatnya mensubordinasi perempuan, mengakibatkan perempuan tidak dapat mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.

Pendidikan sangatlah penting, begitupun pendidikan perempuan. Karena perempuan adalah sekolah pertama bagi anaknya, perempuan adalah ibu bagi bangsanya. Jika perempuan cerdas, bangsa akan menjadi cerdas. Selamat Hari Pendidikan, 2 Mei 2020. (meh)

 

Oleh: Hanun Ashfa (Ketua Bidang Immawati)

 

Author avatar
IMM Renaissance

Post a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *