preloader
IMM Renaissance FISIP UMM
Jl. Mulyojoyo, Dusun Jetak Lor, RT 01/RW 01, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Kontak
Email: immfisip.umm@gmail.com
Telepon: +62 831-3005-2439

Etos dan Spirit Sosial Muhammadiyah

Muhammadiyah, salah satu Gerakan islam terbesar, telah melampaui satu abad dan akan terus menjunjung tinggi cita-cita untuk membangun “Masyarakat islam yang sebenar-benarnya”. Muhammadiyah merupakan organisasi atau Gerakan islam yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sifat organisasi Muhammadiyah bergerak dibidang Keagamaan, Pendidikan, dan Sosial budaya yang menjerumus kepada tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.

Sosok penting dan teladan pada Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan telah melahirkan berbagai pemikiran yang mendasari perjuangan dan pergerakan Muhammadiyah selama ini, seperti konsep teologi Al-Maun  yang dicetuskan oleh K.H Ahmad Dahlan dalam berdakwah dan mengajarkan nilai-nilai agama islam, selain Teologi Al-Maun terdapat pemikiran lain yang dicetuskan oleh K.H Ahmad Dahlan yaitu Teologi Al-Ashr. Basis teologis etos Muhammadiyah dapat diketahui dari pemikiran dan aksi amaliah KH Ahmad dahlan

Saat berbicara tentang teologi dalam Muhammadiyah, hal ini akan berkaitan dengan etos perjuangan Muhammadiyah selama organisasi islam ini berdiri. Etos dapat dipahami sebagai suatu pandangan hidup yang khusus dan khas pada suatu golongan sosial. Kata etos berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu Etos yang berarti sebuah sikap, karakter, watak, kepribadian, dan keyakinan kepada sesuatu hal. Pada organisasi Muhammadiyah sendiri, etos ini lebih mengarah kepada etos perjuangan Muhammadiyah dalam rangka menegakkan agama islam yang sebenar-benarnya. Etos perjuangan ini dapat dipahami sebagai suatu nilai yang dapat membentuk kepribadian pada seseorang dalam melakukan pekerjaannya.

Gerakan Muhammadiyah selalu setia dan mendapat inspirasi dari tiga etos Alquran dalam mencapai tujuan membangun masyarakat Islam yang sesungguhnya, yaitu etos rahmat (welas asih), al-Ma’un dan al-`Ashr. Etos tersebut selalu terbentuk pada pendekatan interpersonal integratif antara interpretasi Al-Qur’an, hati suci dan penemuan sains dan teknologi, dan pengalaman universal umat manusia. Muhammadiyah juga identik dengan etos al-Ma’un, nilai religius praksis sosial. Religiusitas cenderung menolak formalitas agama karena telah disertakan dalam keberpihakan sosial untuk mengadvokasi penyiksaan. Al-`Ashr etos berarti bahwa agama (iman) dan peradaban (amal shalih) ditempatkan sebagai dua entitas yang terpisah dan harus dicapai secara terpisah.

Gagasan dan etos gerakan K.H Ahmad Dahlan yang jauh lebih besar adalah sikap terbukanya menyerap puncak-puncak peradaban tanpa memandang bangsa dan agama pengemban peradaban itu. Karena berbagai aksi sosial yang dikembangkan Kyai Dahlan terisnpirasi dari pengalaman orang-orang asing Kristiani dan warga Belanda, Inggris atau Portugis. Panti Asuhan Yatim Piatu, Panti Jompo, Rumah Sakit, Rumah Miskin dan Sekolah Modern merupakan hasil dialog peradaban Kyai Dahlan dengan manajemen kehidupan di bidang kesehatan, sosial, dan pendidikan kaum Kristiani dan pejabat Kolonial Belanda.

K.H Ahmad Dahlan telah mengajarkan al-Ma‘un dan al-‘Ashr. Dua gagasan besar yang meresap kuat dalam alam bawah sadar Muhammadiyah. Dua gagasan itulah yang melandasi visi dan misi gerakan Muhammadiyah hingga kini, yang sudah melewati usia satu abad. Dua surat pendek ini banyak mewarnai kisah Kyai Dahlan dalam mengajarkan Al-Qur’an. Tinggal bagaimana selanjutnya dua teologi ini diramu dan dioperasionalisasi menjadi spirit dan etos yang menyatu dengan sistem gerakan Muhammadiyah.

Logika al-Ma’un memiliki logika yang berbeda dari al-‘Ashr. Etos al- Ma’un mengidentifikasi dimensi religius mesti seiring dengan dimensi sosial kesalihan religius menjadi kurang bermakna jika tidak dibarengi dengan kepedulian sosial. Sementara etos al-‘Ashr menarik batas antara dimensi rohani (iman) dan dimensi sosial (amal salih). Bagi al-Ma’un kepedulian sosial merupakan kriteria bagi kesalihan agama, sedangkan bagi al-‘Ashr dimensi agama dan dimensi sosial merupakan dua hal yang berbeda meskipun tidak terpisah yang masing-masing memiliki kriteria dan ukuran.

Menurut Ahmad Norma Permata, etos al-Ma’un mengajarkan bahwa kepedulian sosial merupakan komponen sekaligus kriteria dari kesalihan spiritual. Dalam bahasa kontemporer, perspektif ini sering diidentikkan dengan ideologi “kiri”, yaitu pemahaman strukturalis terhadap ketimpangan sosial yang dilawankan dengan kesetaraan hak individual. Dalam perspektif al-Ma’un, evaluasi moral terhadap ketimpangan sosial menyatakan bahwa peradaban selalu dikuasai kelompok kuat (penguasa, kaya, pandai, dan sebagainya). Karena itu, moralitas al-Maun selalu berpihak kepada kelompok lemah (miskin, tertindas, bodoh, dan lemah). Logika al- Ma’un melihat para penguasa dan kelompok kaya cenderung sebagai “tersangka” secara moral terkait dengan berbagai penderitaan kelompok lemah dan tertindas. Ini tentu saja berimplikasi secara institusional pada gerakan bernuansa anti kemapanan.

Wawasan al-Ma’un mendorong terbentuknya institusi atau sistem kehidupan yang memberikan peluang kepada kelompok lemah untuk menuntut kesamaan hak dan kesempatan dalam membangun kehidupan. Konsekuensinya akan terbuka kemungkinan benturan-benturan antara kelompok pendatang yang menginginkan perubahan dengan kelompok yang ingin mempertahankan kemapanan. Perspektif strukturalis ini secara politis cenderung populis. Di satu sisi, al-Ma‘un mengandung logika simplistik bahwa pada dasarnya secara moral manusia mempunyai status setara. Di sisi lain, secara sosial kehidupan manusia terbelah ke dalam tingkatan-tingkatan di mana ada kelompok yang diuntungkan dan dirugikan. Kesimpulannya kelompok yang diuntungkan cenderung dianggap bersalah atau setidaknya bertanggung jawab untuk menolong kelompok yang tertindas. Kelompok lemah dan tertindas biasanya merupakan bagian dari mayoritas.

Logika al-Ma’un yang strukturalis ini juga berkonsekuensi pada strategi membangun kehidupan (peradaban) yang ideal dan berkeadilan. Sebagaimana kelompok strukturalis diberbagai belahan dunia, wawasan al-Ma’un sangat dekat dengan filsafat idealis yang melihat ukuran kebaikan berakar pada sistem yang beroperasi. Sistem yang baik akan menghasilkan realitas kehidupan yang baik; sistem yang buruk akan menghasilkan kehidupan yang buruk. logika al-Ma’un selalu berupaya merumuskan sistem alternatif bagi peradaban Islam. Asumsi dasarnya adalah bahwa problem sosial, ketimpangan dan ketidakadilan lahir dari adanya sistem sosial yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Maka, untuk memperbaiki keadaan dan menanggulangi ketimpangan, tidak ada cara lain kecuali memperbaiki, atau jika perlu mengganti sistem yang ada.

Sementara logika al-‘Ashr mengajarkan bahwa iman dan amal shaleh, meskipun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari keberislaman, namun keduanya berbeda dalam dimensi dan konstruksinya. Artinya, upaya untuk membangun salah satu di antara keduanya akan secara otomatis membantu dan memfasilitasi perbaikan dimensi yang lain, namun ketiadaan atau kekurangan salah satunya tidak serta merta membatalkan atau mengurangi nilai yang lain. Kepedulian sosial mengandung nilai dan kebaikan agama, namun kebaikan agama tetap dapat dicapai meskipun tanpa kepedulian sosial. Logika al-‘Ashr ini memiliki konsekuensi institusional yang berorientasi pada keterbukaan kesempatan untuk meraih kebaikan, yang mengutamakan kapasitas dan kemampuan usaha individu, apresiasi dan perlindungan hasil kinerja dan prestasi personal. Dalam konteks ini, logika al-‘Ashr akan menempatkan peradaban sejalan dengan evaluasi moral. Kebaikan tidak hanya dilihat dari perspektif moral yang pasif melainkan dari ukuran moralitas aktif. Kejayaan dan keberhasilan lebih utama dibanding kekalahan dan kegagalan jika posisi moralnya sama. Keberhasilan tidak identik dengan kecurangan sementara kegagalan tidak selalu identik dengan ketulusan. Berbanding terbalik dengan logika al-Ma’un, logika al-‘Ashr cenderung melihat penguasa dan orang kaya sebagai teladan untuk diikuti sedangkan kelompok lemah dan tertindas sebagai peringatan dan bahan pelajaran untuk dihindari. Dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan dan memperbaiki situasi, logika al-‘Ashr tidak berorientasi pada sistem dan tidak mendorong intervensi atau rekonstruksi sistem-sistem alternatif, melainkan lebih kepada upaya untuk menghilangkan atau mengurangi persoalan dan ketidakadilan yang secara konkret dihadapi oleh masyarakat. Logika al-‘Ashr ini dekat dengan tradisi pemikiran “liberal” yang rasional dan empiris. Dalam pandangan pengikut kelompok ini, sistem kehidupan merupakan rangkuman dari seluruh proses tindakan dan interaksi usaha seluruh anggota masyarakat. Sistem kehidupan [institusi] bukanlah hasil ciptaan seseorang atau sebuah kelompok, melainkan hasil akhir dari gabungan kehendak dan usaha semua orang.

K.H Ahmad Dahlan lebih fokus membangun kerja nyata untuk peradaban dalam menanggulangi problem dan ketidakadilan yang ada di masyarakat baik menyangkut kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Muhammadiyah cenderung terbuka untuk menerima realitas sistem kehidupan yang ada sembari berpikir dan bekerja keras bagaimana menanggulangi persoalan ketidakadilan di masyarakat. Akibatnya, rumusan formal cita-cita institusional (peradaban) Muhammadiyah selalu ambigu: peradaban utama, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya—yang sekedar normatif, tanpa acuan indikator, dan bisa ditafsirkan ke mana saja.

Pada bidang sosial sendiri, etos perjuangan Muhammadiyah diwujudkan melalui berbagai hal seperti pendidikan dan pelayanan sosial. Pada bidang pendidikan, Muhammadiyah telah memperjuangkan pendidikan di Indonesia khususnya dengan mendirikan berbagai sekolah dan universitas. Berdasarkan etos perubahan, perjuangan Muhammadiyah di bidang pendidikan sudah dimulai sejak dulu dimana K.H.Ahmad Dahlan telah mempelopori perjuangan ini dengan mengusungkan sistem Pendidikan terpadu, yang mengaktulisasikan dan membudayakan berbagai nilai keislaman di dalam sistem Pendidikan dengan tujuan membentuk karakter manusia Indonesia yang religius. Hal ini sejalan dengan teologi Al-Ashr yang mengajarkan untuk menjadi muslim beriman yang sesungguhnya. Selain itu, Muhammadiyah juga berupaya untuk melakukan perubahan pada sistem Pendidikan tradisional dan membawanya kearah yang lebih modern dan mengikuti perkembangan jaman tetapi tetap sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang sudah dipikirkan terlebih dahulu oleh K.H. Ahmad Dahlan. Beliau memikirkan bagaimana nantinya agar suatu Lembaga Pendidikan dapat terawat dengan baik dan juga dapat berjalan dalam jangka panjang. Selain itu, Muhammadiyah juga mendirikan berbagai fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, dan pelayanan sosial seperti panti jompo, amil zakat, panti asuhan yang membantu memperjuangkan hak masyarakat yang mengalami kekurangan sebagai bagian bentuk etos amaliyah. Berbagai bentuk etos perjuangan Muhammadiyah berikut dapat menjelaskan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi islam yang sangat memberikan kontribusi di berbagai bidang. Teologi Al-Ashr yaitu amal shalih yang di cetuskan oleh K.H. Ahmad Dahlan juga membuat Muhammadiyah mampu meneruskan perjuangan di bidang sosial kemasyarakatan hingga dapat bertahan dan berkembang sampai sekarang (Istiqomah, 2022).

Etika Muhammadiyah bukan semata berpengaruh melahirkan etos wirausaha dikalangan pengikutnya, bahkan terwujud dalam sistem peradaban secara simultan yang meliputi system kepribadian, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Wujud spirit peradabanya merentang luas dari bidang Pendidikan dan kebudayaan, layanan Kesehatan, santunan dan pemberdayaan sosial, perekonomian dan kesejahteraan, filantropi, kebencanaan dan lain sebagainya. Konsep etika Muhammadiyah dan spirit peradaban ini menggambarkan bahwa relasiantara agama dan spirit peradaban menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam pembentukan etos Muhammadiyah.

 

Oleh : Dewi Ferawati Kurnia Maysari (Ketua UmumIMM Renaissance FISIP UMM Periode 2023-2024)

Author avatar
IMM Renaissance